Jumat, 16 Oktober 2020

LAPORAN PRAKTIKUM

BIODIVERSITAS HEWAN

ACARA II

FILUM PLATYHELMINTHES, NEMATODA DAN ANNELIDA

 

       I.            I. TUJUAN

1.1              Mahasiswa mampu mengenal ciri‐ciri umum dan khusus Filum Platyhelminthes, Nematoda dan Annelida

1.2              Mahasiswa mampu mengenal dan mengidentifikasi beberapa jenis anggota filum tersebut.

    II.            TINJAUAN PUSTAKA

                          2.1            Platyhelminthes

 

            Platyhelminthes adalah cacing daun yang umumnya bertubuh pipih. Beberapa ahli menganggap Nemertia, yaitu satu kelas yang tergabung dalam Platyhelminthes sebagaifilum tersendiri yaitu filum Nemertia. Cacing daun bersifat triploblastik, tetapi tidak berselom. Ruang digesti berupa ruang gastrovaskular yang tidak lengkap. Cacing pita tidakmempunyai saluran digesti. Walaupun hewan-hewan itu bersifat simetri bilateral, namunmereka mempunyai sistem ekstretorius, saraf, dan reproduksi yang mantap. Sebagaiananggota cacing daun itu hidup parasitis pada manusia dan hewan. Cacing-cacing planariahidup dalam air tawar. Cacing hati dan cacing pita bersiklus hidup majemuk danmenyangkut beberapa inang sementara. Cacing-cacing nemertian hidup mandiri di laut danterkenal sebagai cacing ikat pinggang (Curini,2008)

 

                          2.2 Nemotoda

                            Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi. Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus. Nematoda usus sering disebut sebagai cacing gilig, di antara filum yang lain, filum ini mempunyai anggota terbanyak baik jenis maupun individunya (Ahmad,2010)

                          2.3            Annelida


 
            Annelida berarti ‘cincin-cincin kecil; mengacu pada kemiripan tubuh Annelidadengan serangkaian cincin yang menyatu. Annelida adalah cacing beruas yang hidupdi lautan, di sebagian besar habitat air tawar, dan di tanah lembab. Annelida merupakanselomata, dan panjangnya berkisar 1 mm hingga lebih dari 3 m, yaitu panjang cacingtanah Australia raksasa. Tubuh hewan Annelida bilateral simetris, panjang dan jelas bersegmen-segmen, serta memiliki alat gerak yang berupa rambut-rambut kaku (setae) pada tiapsegmen.Polychaeta dengan tentakel di kepalanya dan setae pada bagian-bagian tubuhyang menonjol ke lateral, atau pada lobi lateralis yang disebut parapodia. Tubuhtertutup oleh kutikula yang licin yang terletak di atas epithelium yang bersifatglanduler. Dinding tubuh dan saluran pencernaan dengan lapisan-lapisan otot sirkulerdan longitudinal; sudah mempunyai rongga (coelom) dan umumnya terbagi oleh septa;saluran pencernaan lengkap, tubuler, memanjang sesuai dengan sumbu tubuh. Sistemcardiovasculare adalah sistem tertutup, pembuluh-pembuluh darah membujur, dengancabang-cabang kecil (kapiler) pada tiap segmen (metamer); plasma darah mengandunghemoglobin. Respirasi dengan kulit, atau dengan branchia. Organ eksresi terdiri atassepasang nephridia pada tiap segmen (Amon,2013).

 

 

 III.            III. METODE

                          3.1            Alat

3.1.1         Alat tulis

3.1.2         Buku laporan sementara

3.1.3         Buku panduan praktikum

3.1.4         Laptop

 

                          3.2            Bahan

3.2.1        Foto spesimen meliputi : filum Platyhelminthes ( Planaria sp., Fasciola hepatica, Taenia sagiata), filum Nematoda (Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Wuchereria bancrofti.) dan filum Annelida (Tubifex sp., Nereis sp., Lumbricus terrestris)

3.2.2        Jaringan internet

 

                          3.3            Cara Kerja

3.3.1         Gambar spesimen diamati

3.3.2         Klasifikasi spesimen yang diamati ditulis pada buku laporan sementara

3.3.3         Morfologi dan bagian-bagian spesmen digambar pada buku laporan sementara

3.3.4        Deskripsi spesimen ditulis pada buku laporan sementara

3.3.5        Hasil laporan sementara di foto dan dikirim ke Asisten praktikum sebagai laporan tugas.

 


   
IV.           
PEMBAHASAN

            Praktikum Biodiversitas Hewan acara II yang berjudul “FILUM PLATYHELMINTHES, NEMATODA DAN ANNELIDA” dilaksanakan pada hari Selasa, 30 Maret 2020 via MS Team, Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro. Praktikum ini memiliki beberapa tujuan yaitu agar mampu mengenal ciri‐ciri umum dan khusus Filum Platyhelminthes, Nematoda dan Annelida yang penting untuk identifikasi dan mampu mengenal dan mengidentifikasi beberapa jenis anggota filum tersebut. Alat dan bahan dalam praktikum ini meliputi alat tulis, buku laporan sementara, buku panduan praktikum, laptop/handphone, foto spesimen Platyhelminthes, Nematoda dan Annelida serta jaringan internet.

                            4.1            Platyhelminthes

           Platyhelminthes berasal dari dua kata yaitu platy yang berarti pipih dan helmins yang berarti cacing. Platyhelminthes berarti cacing pipih. Hal ini dibuktikan dengan bentuk tubuhnya yaitu pipih. Hal ini sesuai dengan pendapat Pawlowski (2012) yang menyatakan bahwa Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani, yaitu “platys” yang berarti pipih,dan “helmins” yang berarti cacing. Sesuai dengan namanya, Platyhelminthes mempunyai bentuk yang pipih di bagian dorsal dan ventral, dan kadang-kadang memperlihatkan adanya gambaran pseudosegmentasi. Dari filum ini yang hidup sebagai parasit pada manusia dan hewan terdapat dalam kelas Cestoda berbentuk pita dengan gambaran pseudosegmentasi pada tubuhnya.Sedang cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dinamakan cacing daundan dimasukkan dalam kelas Trematoda. Filum ini terdiri atas 9.000 spesies. Cacing pipih yang hidup bebas yang dapat ditemukan diperairan bersih pada batu atau bagian di bawah daun-daunan ialah sejenis Planaria. Amati bentuk tubuhnya. Cacing ini dapat pula dipakai untuk percobaan regenerasi.Di pantai laut yang jernih banyak ditemukan jenis-jenis cacing pipih yangberwarna indah.  Platyhelminthes ada yang bersifat parasit dan ada yang hidup bebas di perairan. Cacing ini tidak memiliki sistem peredaran darah dan bernafas dengan seluruh permukaan tubuh. Platyhelminthes mempunyai bentuk tubuh pipih, tidak mempunyai rongga tubuh (selom) dan alat pencernaanya tidak sempurna.

4.1.1        Planaria sp

      Planaria sp merupakan anggota dari kelas Turbellaria. Tubuhnya pipih sehingga dimasukkkan ke dalam filum Platyhelminthes. Planaria sp memiiki otot menjulur keluar untuk mengangkap mangsa. Planaria sp biasa ditemukan hidup diperairan. Planaria sp dapat dimanfaatkan sebagai indicator kualitas lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Palupi (2015) yang menyatakan bahwa Planaria termasuk ke dalam filum Platyhelminthes karena memiliki tubuh yang pipih dan termasuk ke dalam kelas Turbellaria. Planaria sp hidup di perairan bertemperatur 18-24 derajat celcius. 

      Ciri Umum yang dimiliki Planaria sp yaitu planaria merupakan karnivor dan bertempat tingggal di perairan tawar. Sedangkan ciri khusus Planaria sp yaitu Planaria sp tidak memiliki anus sehinggga dalam mencerna makanan, makanan akan kembali ke mulut. Hal ini sesuai dengan pendapat Radiopoetra (1990) yang menyatakan bahwa bersifat karnivor dan hidup bebas di perairan seperti di sungai, kolam, atau danau.  Planaria memiliki panjang tubuh antara 5-25 mm. Hewan ini bergerak dengan silia yang terdapat pada bagian epidermis tubuhnya. Planaria memiliki sistem pencernaan yang masih sangat sederhana yang terdiri dari mulut, faring, dan rongga gastrovaskuler (usus). Hewan ini tidak memiliki anus sehingga sisa-sisa makanan yang tidak dicerna akan dikeluarkan kembali melalui mulut. Planaria mengeksresikan sisa metabolisme tubuh yang berupa nitrogen melalui permukaan tubuhnya yang dilangkapi oleh sel api. Cacing ini memiliki sistem saraf yang berpusat di ganglia pada bagian kepala yang kemudian bercabang-cabang membentuk sistem syaraf tangga tali.

      Planaria bereproduksi secara seksul dan aseksual. Secara seksual dengan sel sperma dan sel telur sedangkang pembelahan aseksual denag fragmentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat soemadji (1994) yang menyatakan bahwa Planaria sp dapat bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan secara seksual terjadi saat sel sperma membuahi sel telur betina. Planaria bersifat hemafrodit, sehingga tak akan pernah tejadi pembuahan sendiri. Reproduksi Planaria secara aseksual terjadi melalui proses fragmentasi atau memotong diri. Setiap potongan tubuh akan beregenerasi sehingga akan membentuk individu baru. Reproduksi merupakan proses pembentukan individu baru.  Cacing Planaria yang sudah mencapai dewasa, mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina, jadi bersifat monoecous (hermaprodit). Testis dan ovarium Planaria berkembang dari sel-sel formatif dari parenchym. Perkembangbiakan Planaria secara aseksual terjadi dengan pembelahan arah transversal. Seekor cacing Planaria dapat mengalami kontriksi (penyempitan) biasanya di belakang faring, kemudian membelah dan masing-masing potongan melengkapi bagian tubuhnya menjadi individu-individu baru. Reproduksi secara seksual, dua Planaria saling melekat pada sisi ventral-posterior tubuhnya dan terjadi kopulasi, penis masing-masing dimasukkan kedalam atrium genitalis. Sperma dari vesikula seminalis pada sistem reproduksi jantan masing-masing masuk ke seminal reseptacle cacing pasangannya, saling bertukaran produk sex antara dua individu yang berbeda di sebut cross fertilisasi, dan transfer langsung sperma dari jantan ke organ kelamin betina di sebut fertilisasi internal. Setelah perkawinan selesai, 2 cacing tersebut memisah, dan sperma mengadakan migrasi di dalam oviduck, untuk membuahi telur-telur. Beberapa zygot dan banyak sel-sel yolk kemudian bersatu didalam kapsul yang terpisah (di dalam kulit telur, di buat oleh dinding atrium kemudian keluar). Perkembangan secara langsung tidak ada stadium larva. Perkembangan Planaria secara aseksual di alam, dilakukan selain bulan februari-maret. Kondisi lingkungan selain bulan tersebut, planaria sudah dewasa / maksimum dalam beregenerasi, sehingga Planaria mengalami kontriksi atau penyempitan di belakang faring, terjadinya kontriksi karena sel-sel cuboid yang menutupi bagian luar permukaan tubuh, kemudian dengan adanya dorongan dari otot-otot sirkuler dan longitudinal akan berkontraksi dan menimbulkan perubahan bagian tubuh diantara epidermis dan tractus digestivus yang berguna untuk membantu distribusi makanan dan pengeluaran sisa-sisa makanan terhambat dan kemudian terjadi pembelahan. Sistem reproduksi pada kebanyakan cacing pipih sangat berkembang dan kompleksReproduksi aseksual dengan cara memotong tubuh di alami oleh sebagian besar anggota Turbellaria air tawarPada umumnya cacing pipih telurnya tidak mempunyai kuning telur, tetapi di lengkapi dengan “sel yolk khusus” yang tertutup oleh cangkang telur. Reproduksi pada Planaria dapat di lakukan dengan vegetatif secara membelah diri dan secara generatif dengan perkawinanPlanaria ini merupakan hewan hermaprodit (monoceus) tetapi tidak mampu melakukan pembuahan sendiriKedua alat kelamin ini berkembang dari sel-sel formatif pada parenkhim.

      Bagian tubuh pada Planaria sp yaitu bintik mata yang berfungsi sebagai membedakan intensitas, lubang mulut untuk menangkap makanan, dan zona adesif berfungsi sebagai melekatkan tubuhnya paa permukaan benda. Hal ini sesuai dengan pendapat Palupi (2014) yang menyatakan bahwa  Planaria tubuhnya selain pipih juga lonjong, dan lunak dengan panjang tubuh kira-kira antara 0,5-75mmBagian anterior (kepala) berbentuk segi tiga memiliki dua buah bintik mata Bintik mata Planaria hanya berfungsi untuk membedakan intensitas cahaya dan belum merupakan alat penglihatan yang dapat menghasilkan bayangan. Lubang mulut berada di ventral tubuh agak kearah ekor, berhubungan dengan pharink (proboscis) berbentuk tubuler dengan dinding berotot, dapat ditarik dan dijulurkan untuk menangkap makanan. Di bagian kepala, yaitu bagian samping kanan dan kiri terdapat tonjolan menyerupai telinga disebut aurikel. Tepat di bawah bagian kepala terdapat tubuh menyempit, menghubungkan bagian badan dan bagian kepala, disebut bagian leher. Di sepanjang tubuh bagian ventral diketemukan zona adesif. Zona adesif menghasilkan lendir liat yang berfungsi untuk melekatkan tubuh planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di permukaan ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus, berfungsi dalam pergerakan.

 

4.1.2      Fasciola hepatica

           Fasciola hepatica merupakan cacing hati yang termasuk dalam kelas trematoda. Fasciola hepatica memiliki simetri bilateral. Fasciola hepatica merupakan parasite pada tubuh hewan atau manusia. Mereka hidup di dalam peredarah manusia/pembuluh darah hewan atau manusia, juga hidup di hati. Keberadaannya sebagai parasite menyebabkan Fasciola hepatica tidak memiliki manfaat baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Ashrafi ( 2014) yang menyatakan bahwa fasciola hepatica merupakan trematoda hati dengan bentuk pipih seperti daun. Tubuhnya merupakan simetri bilateral. Fasciola hepatica hidup secara pasarsit pada tubuh manusia maupun tubuh hewan. Fasciola hepatica menetap pada pembuluh darah dan hati inangnya, sehingga menyebabkan kerugian pada inangnya.

           Fasciola hepatica memiliki saluran ekskresi yang berupa saluran yang berakhir pada sel api. Sistem respirasi dilakukan pada permukaan tubuhnya. Sistem pencernaannya secara ekstrasel dengan mengambil cairan empedu atau jaringan hati. Fasciola hepatica memiliki sistem saraf ganglion yang terhubung dengan tali saraf. Sistem sirkulasi pada fasciola hepatica belum terlalu kompleks karena belum memiliki rongga tubuh sesungguhnya. Fasciola hepatica memiliki sistem reproduksi secara generative atay seksual yaitu dengan pembuahan sendiri. Saat telur dibuahi, menghasilkan zigot akan dikeluarkan ke perairan bersama dengan kotoran hewan atau inangnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Novobilsk (2016) yang menyatakan bahwa Fasciola hepatica melakukan respirasi dengan seluruh permukaan tubuhnya. Sel api menjadi saluran untuk sistem ekskresinya. Fasciola hepatica mencerna makanan dengan pencernaan ekstrasel dengan jaringan hati (pada cacing muda) atau cairan empedu (pada cacing dewasa ) sebagai makanannya. Sistem sirkulasi belum jelas pada tubuh semuanya. Fasciola hepatica memiliki sistem syaraf yang merupakan ganglion pada bagian anterior pada kepala yang terhubung dengan tali syaraf longitudinal dari transversal. Fasciola hepatica bereproduksi secara seksual dengan melakukan pembuahan dalam satu individu/hemaprodit. Setelah telur dibuahi oleh oviduk, zigot yang dihasilkan akan dikeluarkan ke perairan bersama kotoran inangnya yang setelah menetas menjadi merasidium dan masuk dalam siput yang berkembang menjadi sporocyt yang menhasilkan redia-redia dan cercaria, kemudain keluar dari tubuh siput dan menempel di rerunputan yang termakan oleh hewan ternak yang menjadi inang baru yang nantinya akan ditularkan ke manusia.

 

4.1.3  Taenia sagiata

           Taenia sagiata merupakan cacing pita sari filum Platyhelminthes. Cacing ini berbentuk panjang dan bersegmen. Taenia sagiata mempunyai sucker ynag berfungsi untuk menghisap. Taenia sagiata biasa hidup di dalam tubuh hewan ternak seperti sapi. Taenia sagiata hidup sebagai parasite yang berbahaya sehingga tidak memiliki manfaat bagi manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Tembo (2015) yang menyatakan bahwa Taenia sagiata merupakan cacing pita dalam filum Platyhelminthes yang hidup sebagai parasite di tubuh hewan ternak sapi. Taenia sagiata bertubuh besar (makroskopis) dan panjang. Pada tubuhnya terdapat sucker untuk menghisap. Taenia sagiata sangat merugikan hewan maupun manusia.

           Sistem ekskresi pada Taenia sagiata melalui saluran ekskresi/saluran pengeluaran yang akan berakhir pada sel api.  Taenia sagiata tidak memiliki sistem pencernaan khusus, hanya melalui permukaan luar tubuhnya.  Sistem respirasi belum terjadi secara kompleks. Sistem syaraf kurang berkembang namun terdapat disisi tubuhnya dan terhubung dengan otak di kepala. Sistem sirkulasi belum terlalu kompleks namun dengan pembuluh-pembuluh darah. Sistem reproduksi belum kompleks namun hermaprodit. Hal ini sesuai dengan pendapat Jansen (2018) yang menyatakan bahwa Taenia sagiata  pada sistem ekskresinya memiliki saluran ekskresi yang terdiri dari collecting canal dan sel api. Taenia sagiata tidak memiliki organ pencernaan khusus sehingga sistemnya hanya menyerap nutrisi inang dari permukaan luar tubuhnya. Taenia sagiata memiliki sistem syaraf pada bagian kedua sisi tubuhnya yang berhubungan dengan kepala. Taenia sagiata berkembangbiak dengan hermaprodit sehingga reproduksinya terjadi pada satu tubuh dimana pada tiap progtida mengandung organ jantan dan betina yang lengkap. Telur dikumpulkan pada uterus.

 

                            4.2            Nematoda

           Nematoda adalah cacing-cacingan yang menyerupai benang. Ukuran dari nematoda mikroskopis hingga makroskopis. Nematode merupakan hewan parasite dan merupakan pathogen pada hewan maupun manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Justin (2007) yang menyatakan bahwa Nematoda berasal dari bahasa Yunaniyang  berarti  “benang”  karena  bentuknyayang  memanjang. Nematoda  itu  sendiri  dikenal  dengan beberapa  istilah  antara  lain  cacing  belut. Ukuran nematode beraneka  ragam  dari  ukuran  mikroskopik seperti nematoda pada  tanaman  hingga ukuran  yang  dapat  dilihat  dengan  mata telanjang seperti nematoda pada hewan dan manusia. Nematoda  bersifat parasit  danpatogen  baik  pada  tumbuhan,  hewan  dan manusia.

4.2.1      Ascaris lumbricoides

           Ascaris lumbricoides merupakan cacing yang termasuk dalam kelas Nematoda. Ascaris lumbricoides berbentuk simestris dengan bagian anterior tumpul dan bagian posterior lancip.  Cacing jantan dan betina dapat dibedakan melalui bagian posterior yaitu melengkung ke ventral pada jantan dan lurus pada betina. Hal ini sesuai dengan pendapat Betson (2013) yang menyatakan bahwa Ascaris lumbricoides merupakan cacing nematoda yang berbentuk silindris memanjang berwarna putih.   Cacing dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarnakrem/ merah muda keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40 cm.  Pada kedua jenis kelamin terdapat median excretory pore yang terletak sedikit dibelakang ujung anterior bagian ventral dan terdapat empat garis longitudinal pada dinding tubuh memanjang dari ujung ke ujung dari tubuh cacing. Tubuh cacing Ascaris lumbricoides dilapisi oleh kutikula tipis yang disekresi oleh epidermis yang mendasarinya. Mulut terletak pada bagian ujung anterior yang dilindungi oleh tiga buah bibir atau oral papillae. Saluran pencernaan berkembang dengan kurang baik yang terdiri dari mulut, faring, usus, rektum, dan anus.

           Siklus hidup cacing bermula dari hewan ternak yang kemudian dikeluarkan melalui feses. Setelah di luar inang, Larva cacing berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat Betson (2014) yang menyatakan bahwa Setelah cacing jantan dan betina kopulasi, cacing betina akan meletakkan telur sebanyak 200.000 telur setiap harinya yang kemudian akan keluar dari tubuh manusia melalui anus bersama dengan feses. Telur yang baru keluar dari tubuh manusia belum merupakan bentuk infektif terhadap manusia. Setelah di tanah 16-20 hari, larva kecil berkembang dalam telur. Telur berisi larva inilah yang merupakan bentuk infektif bagi manusia. Telur yang telah dibuahi dapat mengalami embrionasi pada lingkungan yang sesuai yaitu tanah yang lembab dan terlindung dari sinar matahari.

           Cacing Ascaris lumbricoides hidup di berbagai tempat di dunia. Cacing ini bukan termasuk cacing yang memberi manfaat baik bagi manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Deslyper (2017) yang menyatakan bahwa cacing ini ditemukan kosmopolit (di seluruh dunia), terutama di daerah tropis dan erat hubungannya dengan hygiene dan sanitasi. Lebih sering di temukan pada anak-anak karena anak-anak kurang bisa menjaga hygiene dan sanitasi dirinya sendiri, suka bermain ditempat yang kotor. Indonesia frekuensinya lebih tinggi berkisar 20-90%.

4.2.2                Wuchereria bancrofti

           Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nematoda. Hal ini sesuai dengan pendapat Small, dkk (2013) menyatakan bahwa cacing Wuchereria bancrofti adalah sejenis cacing-cacingan dari filum Nematoda. Cacing ini merupakan penyebab penyakit filariasis atau elephantiasis (kaki gajah). Di dalam tubuh manusia, cacing tersebut menyumbat pembuluh limfa (getah bening), sehingga mengakibatkanpembengkakan tubuh terutama pada kaki sehingga membesar. Oleh karena itu disebut kaki gajah. Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka disebut filarial. Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah berasal dari genus wuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai penyebab penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.

           Ukuran tubuh cacing Wuchereria bancrofti mikroskopis yaitu berkisar 230-300 µm dengan lebar 7,5 µm atau lebih. Cacing Wuchereria memiliki bentuk meruncing pada bagian posterior dan membulat pada bagian anterior. Hal ini sesuai dengan pendapat Small (2016) yang menyatakan bahwa Wuchereria bancrofti memiliki panjang tubuh 230-300 µm dan lebar 7,5-10 µm. Cacing ini mempunyai sheath (sarung) dengan ujung anterior tumpul membulat dan posterior meruncing. Cacing ini berwarna putih kekuningan dengan bentuk seperti benang dan mempunyai lapisan kutikula yang halus. Ukuran cacing betina lebih panjang dibandingkan ukuran cacing jantan. Mikrofilaria dari Wuchereria bancrofti terbungkus dan berukuran 240-300 μm  dalam  darah  dan  275-320  µm  dalam  2%  formalin.  Memiliki  tubuh  yang lembut melengkung dan ekor yang meruncing ke suatu titik. Kolom nukelus  (sel-sel  yang  membentuk  tubuh mikrofilaria)  dikemas dengan longgar. Mikrofilaria bersirkulasi dalam darah. Wuchereria bancrofti dewasa mempunyai bentuk yang panjang dan  seperti benang. Ukuran  jantan hingga 40 mm  dan betina memiliki panjang  80-100  mm.  Pada  parasit  dewasa  ditemukan  terutama  di  pembuluh limfatik, lebih jarang di pembuluh darah.           Sikuls hidup pada Wuchereria bancrofti yaitu melalui nyamuk terinfeksi yang menghisap darah manusia kemudian bekas luka menjadi sarang larva cacing. Larva berkembang menjadi cacing filarial dewasa. Cacing dewasa menghasilkan mikrofilaria yang berkembang menjadi larva tahap pertama. Kemudian terus berkemabnag sampai pada tahap ketiga. Hal ini sesuai dengan pendapat Small (2015\4) yang menyatakan bahwa Daur hidup Wuchereria bancrofti adalah ketika menghisap darah, nyamuk yang terinfeksi menularkan larva (tahap ketiga) pada kulit inang manusia melalui luka “gigitan.” Larva berkembang menjadi cacing filaria dewasa pada kelenjar getah bening (limfa). Cacing dewasa menghasilkan mikrofilaria yang memiliki lapisan pelindung dan bergerak aktif dalam peredaran darah. Mikrofilaria dalam darah tersebut ikut tertelan oleh nyamuk yang “menggigit” manusia yang terinfeksi. Mikrofilaria melepaskan lapisan pelindung dan hidup pada perut nyamuk. Mikrofilaria kemudian berkembang menjadi larva tahap pertama. Berkembang lagi menjadi larva tahap ketiga. Larva tahap ketiga pindah ke kepala dan “belalai” nyamuk untuk siap menginfeksi manusia ketika nyamuk “menggigit” manusia.

 

4.2.3      Ancylostoma duodenale

           Cacing Ancylostoma atau biasa disebut cacing tambang adalah cacing yang termasuk ke dalam filum nematode. Cacing ini berasal dari Eropa dan lebih sering dijumpai di daerah bersuhu hangat. Hal ini sesuai dengan pendapat Verweij (2007) yang menyatakan bahwa Cacing tambang diberi nama “cacing tambang” karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai. Ancylostoma duodenale lebih banyak di Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan Eropa bagian selatan. Sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh cacing tambang. Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkatkebersihan yang buruk. Bentuk infektif dari cacing tersebut adalah bentuk filariform. Setelah cacing tersebut menetas dari telurnya, munculah larva rhabditiform yangkemudian akan berkembang menjadi larva filariform.

           Cacing tambang merupakan cacing kosmopolit yaitu hidup di seluruh dunia terlebih pada tempat yang hangat dan lembab dengan tingkat kebersihan yang kurang. Cacing tambang akan berkembang baik pada ususus manusia dan juga usus duabelas jari. Hal ini sesuai dengan pendapat Traub (2004) yang menyatakan bahwa habitat dari Ancylostoma duodenale  adalah usus halus manusia tepatnya pada usus dua belas jari. Ancylostoma duodenale tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit), terutama di daerah tropis dan subtropis, terutama yang bersuhu panas dan mempunyai kelembaban tinggi. Di Eropa, Jepang dan Cina, infeksi cacing-cacing ini banyak dijumpai pada pekerja tambang, sehingga cacing-cacing ini disebut juga dengan cacing tambang.

           Cacing jantan dan betina memiliki perbedaan ukuran dengan bentuk menyerupai huruf C. cacing ini memiliki 2 pasang gigi. Hal ini sesuai dengan pendapat Phosuk (2013) yang menyatakan bahwa Cacing dewasa hidup di rongga usus halus manusia, dengan mulut yang melekat pada mukosa dinding usus. Ancylostoma duodenale ukurannya lebih besar dari Necator americanus. Yang betina ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x 0,5 mm, bentuknya menyerupai huruf C. Rongga mulut Ancylostoma duodenale mempunyai dua pasang gigi. Alat kelamin jantan adalah tunggal yang disebut bursa copalatrix. Ancylostoma duodenale betina dalam satu hari dapat bertelur 10.000 butir. Telur dspesies ini ukurannya 40– 60 mikron, bentuk lonjong dengan dinding tipis dan jernih. Ovum dari telur yang baru dikeluarkan tidak bersegmen. Di tanah dengan suhu optimum23C - 33C, ovum akan berkembang menjadi 2, 4, dan 8 lobus. Telur ini di tanah pada suhu 0C, dapat hidup dalam waktu 7 hari dapat hidup dalam beberapa hari pada suhu 45C sedang pada suhu optimum 23C-33 C dalam waktu 24-48 jam telur akan menetas dan keluar larva rhabditiform yang makan dari bahan sisa organik yang ada di sekitarnya. Cacing ini memilki mulut terbuka. Dalam waktu 3-5 hari, larva menjadi panjang dan kurus dengan mulut tertutup dan runcing. Larva ini disebut dengan filariform yang efektif dan dapat hidup di tanah dengan suhu optimum dalam waktu 2 minggu, dan larva iniakan mati bila kemarau, kena panas langsung atau banjir.Larva filaform dapat menembus kulit manusia kapiler darah Jantungkanan paru-paru Bronkus Trakea Laring usus halus, lalu menjadi dewasa.Seekor cacing  Ancylostoma duodenale mengisap darah dalam satu hari 0,2-0,3 ml.

 

                            4.3            Annelida

           Annelida adalah salah satu fium dari bangsa cacing-cacingan. Annelida berarti cincin karena memiliki struktur tubuh yang seperti cincin dan tubuh bersegmen. Hal ini sesuai dengan pendapat Li (2015) yang menyatakan bahwa Annelida berarti “cincin” kecil dan tubuh bersegmen yang mirip dengan serangkaian cincin yang menyatu merupakan ciri khas cacing filum Annelida. Terdapat sekitar 15.000 spesies filum Annelida, yang panjangnya berkisar antara kurang darti 1 mm sampai 3 m pada cacing tanah Australia. Anggota filum Annelida hidup di laut , dan sebagian habitat air tawar, dan tanah lembab, kita dapat menjelaskan anatomi filum Annelida menggunakan anggota filum yang terkenal, yaitu cacing tanah

4.3.1      Lumbricus terretris

           Lumbricus terrestris merupakan cacing yang termasuk ke dalam filum Annelida karena memiliki tubuh yang beruas-ruas dan dilapisi oleh peritonium. Hal ini sesuai pendapat Membrasar et al (2018) bahwa cacing tanah (Lumbricus terresteris) termasuk ke dalam filum Annelida karena temasuk kelompok hewan yang memiliki tubuh seperti sejumlah besar cincin kecil yang diuntai dan memiliki ruas-ruas (segment). Termasuk kelas Oligochaeta karena segemen pada tubuhnya hanya memiliki sedikit setae. Termasuk dalam ordo Haplotaxida karena gonopore jantannya paling sedikit satu ruas di belakang ruas yang megandung testis. Termasuk dalan famili Lumbricidae karena umumnya terdapat pada tempat lembap dan di daerah tropis. Termasuk dalam genus Lumbricus karena termasuk dalam suku  cacing-cacingan.

           Morfologi dari cacing tanah (Lumbricus terresteris) yaitu memiliki bentuk tubuh panjang silindris, dengan kiraan 2/3 bagian posteriornya. Tubuh bersegmen-segmen dengan Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90-195 yang dapat menyusut dan meregang untuk membantu cacing bergerak di dalam tanah, permukaan atas berwarna merah sampai biru kehijau-hijauan dan dari luar aorta dorsalis kelihatan jelas permukaan bawah lebih pucat. Cacing ini memiliki rambut yang keras dan pendek pada setiap segmennya. Cacing ini memiliki ciri yang khusus dari hewan invertebrate lainnya yaitu tubuhnya bersegmen, bulat memanjang dan tubuhnya memiliki rongga. Panjang tubuhnya 18 cm dan Lembar 0,6 cm. di dalamnya juga terdapat prostomiumm selum, esophagus, gonad, saluran pencernaan pegodium. Hal ini sesuai pendapat Nilawati et al (2014) bahwa cacing tanah (Lumbricus terresteris) memiliki bentuk tubuh simetri bilateral, panjang silindris, membulat didepan, menumpul dibagian ekornya. Cacing dewasa dapat mencapai 150 mm panjang 3 sampai 5 mm lebar. Tubuh bersegmen-segmen, warna tubuh cacing berwarna coklat gelap atau liat, permukaan atas berwarna merah sampai biru kehijau-hijauan dan dari luar aorta dorsalis kelihatan jelas permukaan bawah lebih pucat.

           Bagian tubuh dari cacing ini yaitu ada kutikula, endodermis, alat ekskresi, seudoral, prestomium, gonaphore jantan dan betina, saluran sperma, dan clitellum Hal ini sesuai pendapat Mulut terdapat di ujung anterior, mulut cacing tanah terletak di dalam rongga oris. Hal ini sesuai pendapat Hani (2002) bahwa tubuh cacing tanah terdiri dari segmen-segmen dan memiliki struktur organ-organ sederhana, yang membuat cacing tanah dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungannya. Cacing tanah tidak memiliki alat gerak seperti kaki dan tangan. Namun, cacing memiliki otot pada tubuhnya. Otot tubuh yang memanjang dan otot tubuh yang melingkar serta tebal dapat membantu pergerakan. Struktur tubuhnya terdapat mulut, lubang vas deferens, anus dan klitelum. Klitelum merupakan ruas-ruas reproduktif yang berdinding tebal. Pada klitelum terdapat banyak sel kelenjar yang menghasilkan lendir untuk perkawinan, juga bahan untuk membuat dinding kokon dan albumin untuk melekatkan telur dalam kokon. Mulut (oral) terdapat di ujung anterior, mulut (oral) cacing tanah (Lumbricus terresteris) terletak di dalam rongga oris, berfungsi sebagai organ pencernaan yang pertama kali mencerna makanan, memiliki klitelum (Clitelum) yang berfungsi sebagai kantung untuk meletakkan telur dan mempunyai anus di bagian posterior yang berfungsi sebagai alat pelepasan sisa makanan. Anatomi dari cacing tanah (Lumbricus terresteris) terdiri atas otak ganglion (cerebral ganglia) yang berfungsi menginervasi daerah mulut dan berpangkal pada ujung anterior tiap kelompok sel-sel tersebut. Pangkal tenggorokan (pharynx) terdapat di dalam segmen ke-4 dan ke-5, bersifat muscular dan berguna untuk mengisap partikel-partikel makanan. Kerongkongan (esophagus) terletak di ujung pharynx memanjang dari segmen ke 6 sampai segmen ke 14. Proventriculus merupakan bagian ujung esophagus yang membesar, dan dibagian ini makanan di simpan, dinding proventriculus sendiri tipis. Ventriculus terletak di dalam segmen ke 17-18 bersifat muscular dan berguna untuk mencerna makanan cacing tanah (Lumbricus terresteris) bersifat hermaprodit. Sepasang ovarium menghasilkan ovum, dan terletak di dalam segmen ke-13. Kedua oviduknya juga terletak di dalam segmen ke-13 dan infudibulumnya bersilia. Oviduk tadi melalui septum yang terletak diantara segmen ke-13 dan ke-14, dan di dalam segmen ke-14 membesar membentuk kantong telur. Testis terletak di dalam suatu rongga yang dibentuk oleh dinding-dinding vesivula seminalis. 

           Cacing tanah (Lumbricus terrestris) bersifat hermafrodit. Sepasang ovarium menghasilkan ovum dan terletak pada segmen ke-13. Testis terdapat pada rongga yang dibentuk oleh dinding-dinding vesicular seminalis. Duktus spermaticus keluar dari sisi caudal testis dan keluar pada segmen ke- 15. Walaupun cacing tanah bersifat hermafrodit,namun tidak dapat melakukan perkawinan sendiri karena tidak adanya saluran yang menghubungkan organ reproduksi jantan dan betina. Hal ini sesuai pendapat Roslim et al (2013) bahwa reproduksi cacing tanah (Lumbricus terresteris) termasuk hermaprodit, yaitu memiliki alat kelamin jantan dan betina dalam satu tubuh. Namun demikian, untuk pembuahan tidak dapat dilakukannya sendiri. Dari perkawinan sepasang cacing tanah, masing-masing akan dihasilkan satu kokon yang berisi telur-telur. Kokon berbentuk lonjong dan berukuran sekitar 1/3 besar kepala korek api. Kokon ini diletakkan di tempat yang lembab. Dalam waktu 14-21 hari kokon akan menetas. Setiap kokon akan menghasilkan 2-20 ekor. Testis terdapat pada rongga yang dibentuk oleh dinding-dinding vesicular seminalis. Duktus spermaticus keluar dari sisi caudal testis dan keluar pada segmen ke- 15. Walaupun cacing tanah (Lumbricus terresteris) bersifat hermafrodit, namun tidak dapat melakukan perkawinan sendiri karena tidak adanya saluran yang menghubungkan organ reproduksi jantan dan betina. Cacing tanah (Lumbricus terresteris) mulai dewasa setelah berumur 2-3 bulan yang ditandai dengan adanya gelang (klitelum) pada tubuh bagian depan. Selama 7-10 hari setelah perkawinan cacing dewasa akan dihasilkan 1 kokon.

           Siklus hidup cacing Lumbricus terrestris  yaitu dimulai dari pembuahan lalu telur yang sudah dibuahi masuk kedalam selubung kokon. Jika kokon berada di lingkungan yang cocok maka akan menetas kira-kira 14-21 hari. Menurut pendapat Hanafiah (2005), bahwa Cacing tanah adalah hermafrodit dengan alat kelamin jantan dan betina pada bagian ventral atau ventro lateral.  Cacing dewasa kelamin ditandai dengan adanya klitelium (seperti cincin atau pelana berwarna muda mencolok melingkari tubuh sepanjang segmen tertentu) pada umur 2,5 bulan.  Untuk menghasilkan telur fertil, cacing harus mencari pasangan  dan saling menukar sperma yang akan membuahi sel telur.  Pembuahan akan terjadi dalam masing-masing lubang kelamin betina.  Setelah pembuahan, sepanjang permukaan klitelium akan mengeluarkan lendir yang akan mengeras dan bergerak ke belakang terdorong oleh gerak maju cacing.  Pada saat melewati lubang kelamin betina, telur-telur yang sudh dibuahi akan masuk ke dalam selubung kokon tersebut.  Kokon yang diletakkan pada kondisi lingkungan yang cocok akan menetas dalam 14-21 hari.  Jumlah telur dalam kokon beragam, biasanya lebih dari 10butir.  Tergantung spesies, cacing dewasa  mampu menghasilkan lebih dari 2 kokon setiap 5-10 hari.  Perhitungan kasar menunjukkan setiap 100 cacing dewasa dalam kurun waktu satu tahun dapat menghasilkan 100.000 cacing.

           Lumbricus terresteris  dapat ditemukan didalam tanah yang lembab. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafiah (2005), Bahwa Cacing tanah (Lumbricus terresteris) hidup di dalam tanah yang lembab, subur dan suhunya tidak rendah. Cacing-cacing ini keluar ke permukaan hanya pada saat tertentu. Menurut Rachman (2012), bahwa Cacing tanah genus Lumbricus ini hidup di dalam tanah di daerah tropis.

           Cacing Lumbricus terrestris dapat dimanfaatkan sebagai pakan umpan ikan, memperbaiki aerasi tanah, menyuburkan tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermanto (2012), bahwa Penggunaan cacing Lumbricus terrestris umumnya sebagai umpan untuk pancing ,dan makanan hewan piaraan terutama itik. Jenis cacing tanah yang digunakan umumnya Lumbriscus terestris yang berukuran cukup besar. Penggunaan cacing Lumbricus terrestris sebagai pakan ikan merupakan sumber protein untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Menurut Subowo (2008), bahwa cacing tanah juga berperan memperbaiki aerasi tanah dengan cara menerobos tanah sedemikian rupa sehingga pengudaraan tanah menjadi lebih baik, disamping itu cacing tanah juga menyumbangkan unsur hara pada tanah melalui eksresi yang dikeluarkannya, maupun dari tubuhnya yang telah mati. Cacing Lumbricus terrestris bukan merupakan cacing parasite. Hal ini sesuai dengan pendapat Subowo (2008),bahwa Lumbricus terrestris merupakan cacing tanah yang bukan parasit.

 

4.3.2      Nereis sp.

           Nereis sp. termasuk dalam Annelida karena Annelida memiliki ciri-ciri tubuhnya simetri bilateral, memiliki tiga lapisan sel (triploblastic), tubuhnya bulat dan memanjang biasanya dengan segmen yang jelas baik eksternal internal, di sebagian spesies memiliki setae berupa rambut dan setiap ruasnya memiliki banyak setea. Rongga tubuh Annelida berisi cairan yang berperan dalam pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot; Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal).

           Ciri umum dari Nereis sp. antara lain tubuhnya bersegmen, bulat dan memanjang, memiliki kelamin ganda ( hermaprodit) . Hal ini sesuai pendapat Levine (2013) yang menyatakan bahwa Nereis sp memiliki ciri-ciri antara lain Tubuhnya itu bersegmen-segmen seperti gelang sehingga disebut juga dengan juga cacing gelang, Mempunyai kelamin ganda atau juga hermafrodit, bersimetri bilateral dan triploblastik selomata serta metameri (artinya mempunyai bagian tubuh yang sama), bernafas dengan melalui kulit (itu secara difusi), mempunyai sistem saraf tangga tali, pencernaan makanan tersebut sudah sempurna (terdiri atas mulut, kerongkongan, usus serta anus), peredaran darah tersebut tertutup, serta hidup di laut, tanah yang lembap, atau juga air tawar, sistem saraf tersebut berupa ganglion otak dan juga tali saraf yang tersusun dari tangga tali, sistem peredaran darah annelida tersebut memiliki sifat tertutup dengan tersusun atas pembuluh darah yang mempunyai hemoglobin.

           Ciri khusus dari Nereis sp. adalah memiliki banyak setae, parapodia, dan tentakel. Hal ini sesuai pendapat Hickman (2008) yang menyatakan bahwa Nereis sp. dimasukkan ke dalam polychaeta karena memiliki banyak setae, parapodia dan tentakel. Parapodia merupakan struktur seperti daging pada setiap segmen tubuh yang dapt berfunsi sebagai alat gerak. Masing-masing parapodia memiliki beberapa setae yang terbuat dari polisakarida kittin. Selain itu,parapodia juga berfungsi sebagai alat pernapasan bantuan. Di bagian kepalanya terdapat tentakel yang berfungsi untuk mengambil makanan. Hal ini berkaitan dengan habitatnya yang berada dalam perairan ,tentakel ini untuk mengambil makanan yang melayang-layang dalam perairan.

           Reproduksi Nereis sp. dapat terjadi secara seksual dan aseksual. Daur hidup Dari Nereis sp. Adalah semuanya menghasilkan gamet  namun pada beberapa jenis hanya beberapa ruas saja.  Lalu gaeit yang telah matang akan berenang menjadi cacing pelagis, dan gamet berhamburan di air laut maka cacing tersebut mati . Hal ini sesuai pendapat Suwignyo (2005) yang menyatakan bahwa Reproduksi Nereis sp. dapat terjadi baik secara aseksul maupun seksual.  Reproduksi seksual terjadi dengan cara pertunasan dan pembelahan, namun kebanyakan hanya  melakukan reproduksi secara seksual  saja dan biasanya pada dioecious.  Pada dasarnya hampir semua menghasilkan gamet, namun pada beberapa jenis hanya beberapa ruas saja.  Pada beberapa jenis cacing dengan gamet yang telah matang akan berenang menjadi cacing pelagis, setelah tubuhnya koyok-koyok dan gamet berhamburan di air laut maka cacing tersebut mati, pembuahan terjadi di air laut .

           Habitat dari Nereis sp. biasanya di laut, pantai pasir. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwignyo (2005) yang menyatakan bahwa Cacing laut (Nereis sp.) banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir.  Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga yang terdapat pada air tawar  sampai 60 km dari laut, seperti di Bogor. 

 

4.3.3           Tubifex sp

           Tubifex sp. Termasuk dalam kelompok annelida karena bentuknya yang beruas-ruas, memiliki warna merah coklat kekuningan yang terdiri 30-60 segmen. Hal ini sesuai dengan pendapat Gusrina (2008) yang menyatakan bahwa Tubifex masuk ke dalam kelompok ke dalam annelida karena memiliki ciri-ciri tubunya bersegmen-segmen, warnamya kemerah-merahan yang sekilas nampak seperti koloni merah yang melambai-lambai. Dari setiap segmen bagian punggung dan perut keluar setae dan ujung seta bercabang dua tanpa rambut.

           Ciri umum dari cacing sutra (Tubifex sp.) adalah Cacing ini memiliki bentuk dan ukuran yang kecil serta ramping dengan panjangnya 1-2 cm, beruas-ruas. Sedangkan ciri khususnya adalah sepintas tampak seperti koloni merah yang melambai-lambai karena warna tubuhnya kemerah-merahan, sehingga sering juga disebut dengan cacing rambut. Hal ini sesuai dengan pendapat Pennak (2008) yang menytakan bahwa Tubifex sp. memiliki tubuh yang beruas-ruas, saluran pencernaannya berujung pada anus yang terletak di bagian sup terminal. Di dalam budidaya perairan secara umum Tubifex sp. sering kali disebut  cacing rambut atau cacing sutra karena bentuk dan ukurannya seperti rambut. Panjang tubuh dari dari Tubifex ini antara 10–30 mm berwarna merah coklat kekuningan terdiri dari 30–60 segmen. Dinding tebal yang terdiri dari dua lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya.

           Reproduksi Tubifex sp. terjadi secara seksual antara dua individu seperti pada cacing tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Yurisman dan Sukendi (2004) yang menyatakan bahwa Tubifex sp. adalah organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2 alat kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang telah matang telur. Hasil perkembangbiakannya berupa telur yang dihasilkan oleh cacing yang telah mengalami kematangan sex kelamin betinanya. Telur ini selanjutnya dibuahi oleh kelamin jantan yang telah matang,

           Siklus hidup dari cacing sutra (Tubifex sp.) adalah diawali dengan telur yang kemudian berkembang menjadi cacing muda lalu menjadi cacing dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Kosiorek (2004) yang menyatakan bahwa telur dibuahi dalam suatu kantong yang disebut kokon dan tiap kokon terdapat 4 sampai 5 telur. Kokon berbentuk oval dengan panjang 1,0 mm dan diameter 0,7 mm  Perkembangan embrio mulai dari telur hingga menjadi cacing muda membutuhkan sekitar 10-12 hari pada suhu 24 derajat Celcius. Siklus hidup mulai dari penetasan hingga dewasa dan meletakkan kokonnya yang pertama membutuhkan waktu 40-45 hari, sehingga siklus hidup dari telur menetas hingga menjadi dewasa dan bertelur lagi membutuhkan waktu 50-57 hari.

           Tubifex sp. dapat hidup di dasar perairan tropis maupun sub tropis. Hal ini sesuai dengan pendapat Djariyah (2006) yang menyatakan bahwa cacing ini merupakan salah satu jenis benthos yang hidup di dasar perairan tawar daerah tropis dan subtropis, cacing sutera hidup diperairan tawar yang jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya adalah bagian-bagian organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan tersebut.

           Tubifex sp. dapat dimafaatkan sebagai pakan ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Khairuman (2008) yang menyatakan bahwa cacing sutra (Tubifex. sp) merupakan pakan alami yang rata-rata berukuran panjang 1 - 3 cm. Ukurannya yang kecil membuat pembudidaya memilih cacing sutra sebagai pakan ikan hias dan benih ikan konsumsi. Cacing sutra dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan karena mengandung nutrisi yang tinggi, yaitu protein 57%, karbohidrat 2,04%, lemak 13,30%, air 87,17% dan kadar abu 3,60%.

 

 

 VI.            V. KESIMPULAN

                          5.1            Platyhelminthes merupakan jenis cacing yang memiliki tubuh yang pipih, simetris, dan tidak bersegmen. Platyhelminthes hidup sebagai parasit, mempunyai alat hisap akan tetapi juga ada yang hidup bebas dan mempunyai satu lubang mulut tanpa dubur. Nematoda adalah cacing yang berbentuk bulat panjang (gilik) atau mirip dengan benang. Nematoda dapat hidup bebas dengan memakan sampah organik, kotoran hewan, tanaman yang membusuk, ganggang, jamur, dan hewan kecil lainnya dan juga sebagai parasit di hewan, manusia, dan tumbuhan. Annelida, mmiliki tubuh bersegmen (beruas-ruas yang mirip dengan cincin) dan memiliki otot.Mempunyai sistem pencernaan sempurna dan tubuhnya dilapisi dengan kutikula tipis dan lembab.

                        5.2            Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, Filum Platyhelminthes beranggotakan Planaria sp., Fasciola hepatica, dan Taenia saginata. Filum Annelida mempunyai beberapa jenis anggota yaitu, Nereis sp., Lumbricus terrestris, dan Tubifex sp. Sedangkan dari Filum Nematoda sendiri beranggotakan Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, dan Wuchereria bancrofti.

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Agustini, Desi Maharani. 2006. Diversitas Cacing Tanah Pada Agroforestri berbasis Kopi di         Desa Tawangsari Kecamatan Pujon Malang. Skripsi Universitas Brawijaya fakultas    Pertanian Jurusan  Tanah Malang.

Ahmad, W. & Jairajpuri, M.S.: Mononchida – the predatory soil nematodes. Nematology   Monographs and Perspectives, Vol. 7. Brill, Leiden 2010.

Amon, D. J., Glover, A. G., Wiklund, H., Marsh, L., Linse, K., Rogers, A. D., et al. (2013). The   discovery of a natural whale fall in the Antarctic deep sea. Deep Sea Res. II 92, 87–96.     doi: 10.1038/srep22139

Ashrafi K, Bargues MD, O’Neill S, Mas-Coma S, 2014. Fascioliasis: a worldwide parasitic          disease of importance in travel medicine. Trav Med Infect Dis 12: 636–649.

Betson M, Nejsum P and Stothard JR (2013) From the twig tips to the deeper branches: new        Insights into evolutionary history and phylogeography of Ascaris. pp. 265–285 In Holland C (Ed.) Ascaris: the neglected parasite. Amsterdam, Elsevier.

Betson M, Nejsum P, Bendall RP, Deb RM and Stothard JR (2014) Molecular epidemiology of   ascariasis: a global perspective on the transmission dynamics of Ascaris in people and pigs. The Journal of Infectious Diseases 210, 932–941.

Curini-Galletti M, Campus P, Delogu V (2008) Theama mediterranea sp. nov. (Platyhelminthes,   Polycladida), the first interstitial polyclad from the Mediterranean. Ital J Zool 75(1):77–        83.

Deslyper G and Holland CV (2017) Overview on ascariasis in humans in South Asia. pp. 83–120             In Singh SK (Ed.) Neglected tropical diseases-South Asia. Cham, Springer.

Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan Menengah Proyek Peningkatan.

Djafarudin. 2001. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman (Umum). Bumi Aksara: Jakarta.

Djarijah A S. 2006. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan.     Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.

Hanafiah, K. A. dkk. 2005. Biologi Tanah, Jakarta: Raja GrafindoPress.

Hermanto A, Pramonowibowo dan Asriyanto. 2012. Pengaruh Umpan Terhadap Hasil Tangkapan Alat Tangkap Anco (LIF NET) di Perairan Rawa Bulung Kulon, Kabupaten Kudus. Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology 1(1), 128-137.

Hickman, D., 2008. Molecular evidence that echiurans and pogonophorans are derived      annelids. Proceedings of the National Academy of Sciences94(15), pp.8006-8009.

Jansen F, Dorny P, Trevisan C, Dermauw V, Laranjo-González M, Allepuz A, et al. Economic      impact of bovine cysticercosis and taeniosis caused by Taenia saginata in Belgium. P arasit Vectors. 2018;11:241.

Justine J-L. (2007) Fish parasites: Platyhelminthes (Monogenea, Digenea, Cestoda) and    Nematodes, reported from off New Caledonia. In: Payri CE, Richer de Forges B. (Eds)            Compendium of marine species of New Caledonia.Documents Scientifiques et            Techniques 117, (2nd edn), IRD Nouméa, 183–198.

Khairuman, Amri K, dan Sihombing T. 2008. Peluang Usaha Budidaya Cacing Sutra. Jakarta:     PT Agromedia Pustaka.

Kosiorek, D. 2004. Development Cycle Of Tubifex Tubifex Muller In Experimental Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4) : 411-422.

Levine N D. Protozoologi Vertebrata. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press1995.

Li,dkk.2015. Mitogenomics Reveals Phylogeny and Repeat Motifs in Control Region of the         Deep-sea Family Siboglinidae (Annelida).Mol.Phylogenet.Evol.85.

Mambrasar, R. E., Keliopas Krey, Sita Ratnawati. 2018. Keanekaragaman, Kerapatan, Dan Dominansi Cacing Tanah Di Bentang Alam Pegunungan Arfak. Jurnal Biologi 1 (1): 2018 22-30.

Nilawati, I, Dahlemi, Nurdin, I. 2014. Jenis-jenis Cacing Tanah (Oligochaeta) yang Terdapat di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 02 (03): 88-89.

Novobilsk ´y A, Amaya Solis N, Skarin M, H ¨oglund J, 2016. Assessment of flukicide efficacy   against Fasciola hepatica in sheep in Sweden in the absence of a standardised test. Int J       Parasitol Drugs Drug Resist 6: 141–147.

Palupi E.S dan Sari, I.G.A.A.R.P.2014. Struktur Makroanatomi dan Mikroanatomi Panaria di      Perairan Lereng Gunung Slamet,Baturaden, Banyumas. Proceding Seminar Nasional            Biodiversitas V. Departemen Biologi.FSAINTEK.UNAIR: Surabaya.

Palupi,E.S, Wibowo,E.S Dan Sari I.G.A.A.R.P. 2015. Studi Awal Kemampuan Regenerasi           Planaria dari Perairan Lereng Gunung Slamet Baturaden,Banyumas. Proceding.Semnas             Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal Berkelanjutan V,LPPM          UNSOED : Semarang.

Pawlowski J et al. 2012 CBOL Protist Working Group: barcoding eukaryotic richness beyond      the animal, plant, and fungal kingdoms. PLoS Biol. 10, e1001419.       (doi:10.1371/journal.pbio. 1001419).

Pennak, R. W. 2008.  Freswhere Invertebrates Of The United States. A Wilwy Intescience            Publication. John Willey And Sons. New York.

Phosuk I, Intapan PM, Thanchomnang T, et al. Molecular detection of Ancylostoma          duodenaleAncylostoma ceylanicum, and Necator americanus in humans in northeastern       and southern Thailand. Korean J Parasitol2013;51:747–749

Radiopoetro. 1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.

Roslim, D., I, Dini Septya Nastiti, Herman. 2013. Karakter Morfologi dan Pertumbuhan Tiga Jenis Cacing Tanah Lokal Pekanbaru pada Dua Macam Media Pertumbuhan. Jurnal Biosantifika, 5(1) :5-7.

Setiawati, Hani. 2001. Efek Analgetik Ekstrak Cacing Lumbricus rubellus pada tikus (Rattus rattus Strain Wistar). Tugas Akhir. Malang: FKUB.

Small, S. T., Ramesh, A., Bun, K., Reimer, L., Thomsen, E., Baea, M., Bockarie, M. J., Siba, P.,   Kazura, J. W., Tisch, D. J., and Zimmerman, P. A. (2013). Population Genetics of the        Filarial Worm Wuchereria bancrofti in a Post-treatment Region of Papua New Guinea:           Insights into Diversity and Life History. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(7):e2308.

Small, S. T., Reimer, L. J., Tisch, D. J., King, C. L., Christensen, B. M., Siba, P. M., Kazura, J.     W., Serre, D., and Zimmerman, P. A. (2016). Population genomics of the filarial          nematode parasite Wuchereria bancrofti from mosquitoes. Molecular Ecology,         25(7):1465–1477.

Small, S. T., Tisch, D. J., and Zimmerman, P. A. (2014). Molecular epidemiology, phylogeny         and evolution of the filarial nematode Wuchereria bancrofti. Infection, Genetics and             Evolution, 28:33–43.

Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.

Subowo, G.2008. Prospek Cacing Tanah untuk Pengembangan Teknolog Resapan Biologi di Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 27, No. 4, Yogyakarta.

Tembo A, Craig PS. Taenia saginata taeniosis: copro-antigen time-course in a voluntary self-        infection. J Helminthol. 2015;89:612–9.

Traub RJ, Robertson ID, Irwin P, Mencke N, Thompson RC. Application of a species-specific      PCR-RFLP to identify Ancylostoma eggs directly from canine faeces. Vet Parasitol.          2004;123:245–55. 10.1016/j.vetpar.2004.05.026

Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi Dan Kultur Pakan Alami. UNRI Press. Pekanbaru.