LAPORAN
PRAKTIKUM
BIODIVERSITAS HEWAN
ACARA II
FILUM
PLATYHELMINTHES, NEMATODA DAN ANNELIDA
I. I. TUJUAN
1.1
Mahasiswa
mampu mengenal ciri‐ciri umum dan khusus Filum Platyhelminthes, Nematoda dan
Annelida
1.2
Mahasiswa
mampu mengenal dan mengidentifikasi beberapa jenis anggota filum tersebut.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Platyhelminthes
|
2.2 Nemotoda
Nematoda berasal dari bahasa Yunani, Nema artinya benang. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm sampai 1 m. Nematoda yang ditemukan pada manusia terdapat dalam organ usus, jaringan dan sistem peredaran darah, keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang berbeda-beda tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi. Nematoda merupakan salah satu jenis cacing parasit yang paling sering ditemukan pada tubuh manusia. Nematoda yang hidup dalam usus manusia disebut dengan nematoda usus. Nematoda usus sering disebut sebagai cacing gilig, di antara filum yang lain, filum ini mempunyai anggota terbanyak baik jenis maupun individunya (Ahmad,2010)
2.3
Annelida
III. III. METODE
3.1
Alat
3.1.1
Alat
tulis
3.1.2
Buku
laporan sementara
3.1.3
Buku
panduan praktikum
3.1.4
Laptop
3.2
Bahan
3.2.1
Foto
spesimen meliputi : filum Platyhelminthes ( Planaria
sp., Fasciola hepatica, Taenia
sagiata), filum Nematoda (Ascaris
lumbricoides, Ancylostoma duodenale, Wuchereria bancrofti.) dan filum
Annelida (Tubifex sp., Nereis sp.,
Lumbricus terrestris)
3.2.2
Jaringan
internet
3.3
Cara
Kerja
3.3.1
Gambar
spesimen diamati
3.3.2
Klasifikasi
spesimen yang diamati ditulis pada buku laporan sementara
3.3.3
Morfologi dan bagian-bagian spesmen digambar
pada buku laporan sementara
3.3.4
Deskripsi
spesimen ditulis pada buku laporan sementara
3.3.5
Hasil
laporan sementara di foto dan dikirim ke Asisten praktikum sebagai laporan
tugas.
IV.
PEMBAHASAN
Praktikum
Biodiversitas Hewan acara II yang berjudul “FILUM PLATYHELMINTHES, NEMATODA DAN
ANNELIDA” dilaksanakan pada hari Selasa, 30 Maret 2020 via MS Team, Departemen
Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro. Praktikum ini
memiliki beberapa tujuan yaitu agar mampu mengenal ciri‐ciri umum dan khusus
Filum Platyhelminthes, Nematoda dan Annelida yang penting untuk identifikasi
dan mampu mengenal dan mengidentifikasi beberapa jenis anggota filum tersebut.
Alat dan bahan dalam praktikum ini meliputi alat tulis, buku laporan sementara,
buku panduan praktikum, laptop/handphone, foto spesimen Platyhelminthes,
Nematoda dan Annelida serta jaringan internet.
4.1
Platyhelminthes
Platyhelminthes berasal
dari dua kata yaitu platy yang berarti pipih dan helmins yang berarti cacing.
Platyhelminthes berarti cacing pipih. Hal ini dibuktikan dengan bentuk tubuhnya
yaitu pipih. Hal ini sesuai dengan pendapat Pawlowski (2012) yang menyatakan
bahwa Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani, yaitu “platys” yang berarti pipih,dan “helmins”
yang berarti cacing. Sesuai dengan namanya, Platyhelminthes mempunyai bentuk
yang pipih di bagian dorsal dan ventral, dan kadang-kadang memperlihatkan
adanya gambaran pseudosegmentasi. Dari filum ini yang hidup sebagai parasit
pada manusia dan hewan terdapat dalam kelas Cestoda berbentuk pita dengan
gambaran pseudosegmentasi pada tubuhnya.Sedang cacing pipih yang berbentuk
seperti daun, dinamakan cacing daundan dimasukkan dalam kelas Trematoda. Filum
ini terdiri atas 9.000 spesies. Cacing pipih yang hidup bebas yang dapat
ditemukan diperairan bersih pada batu atau bagian di bawah daun-daunan ialah
sejenis Planaria. Amati bentuk tubuhnya. Cacing ini dapat pula dipakai untuk
percobaan regenerasi.Di pantai laut yang jernih banyak ditemukan jenis-jenis
cacing pipih yangberwarna indah. Platyhelminthes
ada yang bersifat parasit dan ada yang hidup bebas di perairan. Cacing ini
tidak memiliki sistem peredaran darah dan bernafas dengan seluruh permukaan
tubuh. Platyhelminthes mempunyai bentuk tubuh pipih, tidak mempunyai rongga
tubuh (selom) dan alat pencernaanya tidak sempurna.
4.1.1
Planaria sp
Planaria sp merupakan anggota dari kelas
Turbellaria. Tubuhnya pipih sehingga dimasukkkan ke dalam filum
Platyhelminthes. Planaria sp memiiki
otot menjulur keluar untuk mengangkap mangsa. Planaria sp biasa ditemukan hidup diperairan. Planaria sp dapat dimanfaatkan sebagai indicator kualitas
lingkungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Palupi (2015) yang menyatakan bahwa Planaria termasuk ke dalam filum
Platyhelminthes karena memiliki tubuh yang pipih dan termasuk ke dalam kelas
Turbellaria. Planaria sp hidup di
perairan bertemperatur 18-24 derajat celcius.
Ciri
Umum yang dimiliki Planaria sp yaitu
planaria merupakan karnivor dan bertempat tingggal di perairan tawar. Sedangkan
ciri khusus Planaria sp yaitu Planaria sp tidak memiliki anus
sehinggga dalam mencerna makanan, makanan akan kembali ke mulut. Hal ini sesuai
dengan pendapat Radiopoetra (1990) yang
menyatakan bahwa bersifat karnivor dan hidup bebas di perairan seperti
di sungai, kolam, atau danau. Planaria memiliki panjang tubuh antara
5-25 mm. Hewan ini bergerak dengan silia yang terdapat pada bagian epidermis
tubuhnya. Planaria memiliki sistem pencernaan yang masih sangat sederhana yang
terdiri dari mulut, faring, dan rongga gastrovaskuler (usus). Hewan ini tidak
memiliki anus sehingga sisa-sisa makanan yang tidak dicerna akan dikeluarkan
kembali melalui mulut. Planaria
mengeksresikan sisa metabolisme tubuh yang berupa nitrogen melalui permukaan
tubuhnya yang dilangkapi oleh sel api. Cacing ini memiliki sistem saraf yang
berpusat di ganglia pada bagian kepala yang kemudian bercabang-cabang membentuk
sistem syaraf tangga tali.
Planaria bereproduksi secara seksul dan
aseksual. Secara seksual dengan sel sperma dan sel telur sedangkang pembelahan
aseksual denag fragmentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat soemadji (1994) yang
menyatakan bahwa Planaria sp dapat
bereproduksi secara seksual maupun aseksual. Perkembangbiakan secara seksual
terjadi saat sel sperma membuahi sel telur betina. Planaria bersifat hemafrodit, sehingga tak akan pernah tejadi
pembuahan sendiri. Reproduksi Planaria
secara aseksual terjadi melalui proses fragmentasi atau memotong diri. Setiap
potongan tubuh akan beregenerasi sehingga akan membentuk individu baru.
Reproduksi merupakan proses pembentukan individu baru. Cacing Planaria
yang sudah mencapai dewasa, mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina,
jadi bersifat monoecous (hermaprodit). Testis dan ovarium Planaria berkembang dari sel-sel formatif dari parenchym.
Perkembangbiakan Planaria secara
aseksual terjadi dengan pembelahan arah transversal. Seekor cacing Planaria
dapat mengalami kontriksi (penyempitan) biasanya di belakang faring, kemudian membelah
dan masing-masing potongan melengkapi bagian tubuhnya menjadi individu-individu
baru. Reproduksi secara seksual, dua Planaria
saling melekat pada sisi ventral-posterior tubuhnya dan terjadi kopulasi, penis
masing-masing dimasukkan kedalam atrium genitalis. Sperma dari vesikula
seminalis pada sistem reproduksi jantan masing-masing masuk ke seminal
reseptacle cacing pasangannya, saling bertukaran produk sex antara dua individu
yang berbeda di sebut cross fertilisasi, dan transfer langsung sperma dari
jantan ke organ kelamin betina di sebut fertilisasi internal. Setelah
perkawinan selesai, 2 cacing tersebut memisah, dan sperma mengadakan migrasi di
dalam oviduck, untuk membuahi telur-telur. Beberapa zygot dan banyak sel-sel
yolk kemudian bersatu didalam kapsul yang terpisah (di dalam kulit telur, di
buat oleh dinding atrium kemudian keluar). Perkembangan secara langsung tidak
ada stadium larva. Perkembangan Planaria
secara aseksual di alam, dilakukan selain bulan februari-maret. Kondisi
lingkungan selain bulan tersebut, planaria sudah dewasa / maksimum dalam
beregenerasi, sehingga Planaria
mengalami kontriksi atau penyempitan di belakang faring, terjadinya kontriksi
karena sel-sel cuboid yang menutupi bagian luar permukaan tubuh, kemudian
dengan adanya dorongan dari otot-otot sirkuler dan longitudinal akan
berkontraksi dan menimbulkan perubahan bagian tubuh diantara epidermis dan
tractus digestivus yang berguna untuk membantu distribusi makanan dan
pengeluaran sisa-sisa makanan terhambat dan kemudian terjadi pembelahan. Sistem reproduksi pada kebanyakan cacing pipih sangat
berkembang dan kompleks. Reproduksi aseksual dengan cara memotong
tubuh di alami oleh sebagian besar anggota Turbellaria air tawar. Pada
umumnya cacing pipih telurnya tidak mempunyai kuning telur, tetapi di lengkapi
dengan “sel yolk khusus” yang tertutup oleh cangkang telur. Reproduksi pada Planaria dapat di lakukan dengan
vegetatif secara membelah diri dan secara generatif dengan perkawinan. Planaria ini merupakan hewan hermaprodit
(monoceus) tetapi tidak mampu melakukan pembuahan sendiri. Kedua
alat kelamin ini berkembang dari sel-sel formatif pada parenkhim.
Bagian
tubuh pada Planaria sp yaitu bintik
mata yang berfungsi sebagai membedakan intensitas, lubang mulut untuk menangkap
makanan, dan zona adesif berfungsi sebagai melekatkan tubuhnya paa permukaan
benda. Hal ini sesuai dengan pendapat Palupi (2014) yang menyatakan bahwa Planaria
tubuhnya selain pipih juga lonjong, dan lunak dengan panjang tubuh kira-kira
antara 0,5-75mm. Bagian anterior (kepala) berbentuk segi tiga
memiliki dua buah bintik mata Bintik mata Planaria
hanya berfungsi untuk membedakan intensitas cahaya dan belum merupakan alat
penglihatan yang dapat menghasilkan bayangan. Lubang mulut berada di ventral
tubuh agak kearah ekor, berhubungan dengan pharink (proboscis) berbentuk
tubuler dengan dinding berotot, dapat ditarik dan dijulurkan untuk
menangkap makanan. Di bagian kepala, yaitu bagian samping kanan dan kiri terdapat
tonjolan menyerupai telinga disebut aurikel. Tepat di bawah bagian kepala
terdapat tubuh menyempit, menghubungkan bagian badan dan bagian kepala, disebut
bagian leher. Di sepanjang tubuh bagian ventral diketemukan zona adesif. Zona
adesif menghasilkan lendir liat yang berfungsi untuk melekatkan tubuh planaria
ke permukaan benda yang ditempelinya. Di permukaan ventral tubuh planaria
ditutupi oleh rambut-rambut getar halus, berfungsi dalam pergerakan.
4.1.2
Fasciola hepatica
Fasciola
hepatica merupakan cacing
hati yang termasuk dalam kelas trematoda. Fasciola
hepatica memiliki simetri bilateral. Fasciola
hepatica merupakan parasite pada tubuh hewan atau manusia. Mereka hidup di
dalam peredarah manusia/pembuluh darah hewan atau manusia, juga hidup di hati.
Keberadaannya sebagai parasite menyebabkan Fasciola
hepatica tidak memiliki manfaat baik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Ashrafi ( 2014) yang menyatakan bahwa fasciola hepatica merupakan trematoda
hati dengan bentuk pipih seperti daun. Tubuhnya merupakan simetri bilateral. Fasciola hepatica hidup secara pasarsit
pada tubuh manusia maupun tubuh hewan. Fasciola
hepatica menetap pada pembuluh darah dan hati inangnya, sehingga
menyebabkan kerugian pada inangnya.
Fasciola hepatica memiliki saluran ekskresi yang berupa saluran
yang berakhir pada sel api. Sistem respirasi dilakukan pada permukaan tubuhnya.
Sistem pencernaannya secara ekstrasel dengan mengambil cairan empedu atau
jaringan hati. Fasciola hepatica
memiliki sistem saraf ganglion yang terhubung dengan tali saraf. Sistem
sirkulasi pada fasciola hepatica belum terlalu kompleks karena belum memiliki
rongga tubuh sesungguhnya. Fasciola
hepatica memiliki sistem reproduksi secara generative atay seksual yaitu
dengan pembuahan sendiri. Saat telur dibuahi, menghasilkan zigot akan
dikeluarkan ke perairan bersama dengan kotoran hewan atau inangnya. Hal ini
sesuai dengan pendapat Novobilsk (2016) yang menyatakan bahwa Fasciola hepatica melakukan respirasi
dengan seluruh permukaan tubuhnya. Sel api menjadi saluran untuk sistem
ekskresinya. Fasciola hepatica
mencerna makanan dengan pencernaan ekstrasel dengan jaringan hati (pada cacing
muda) atau cairan empedu (pada cacing dewasa ) sebagai makanannya. Sistem
sirkulasi belum jelas pada tubuh semuanya. Fasciola
hepatica memiliki sistem syaraf yang merupakan ganglion pada bagian
anterior pada kepala yang terhubung dengan tali syaraf longitudinal dari
transversal. Fasciola hepatica bereproduksi secara seksual dengan melakukan
pembuahan dalam satu individu/hemaprodit. Setelah telur dibuahi oleh oviduk,
zigot yang dihasilkan akan dikeluarkan ke perairan bersama kotoran inangnya
yang setelah menetas menjadi merasidium dan masuk dalam siput yang berkembang
menjadi sporocyt yang menhasilkan redia-redia dan cercaria, kemudain keluar
dari tubuh siput dan menempel di rerunputan yang termakan oleh hewan ternak
yang menjadi inang baru yang nantinya akan ditularkan ke manusia.
4.1.3 Taenia
sagiata
Taenia sagiata merupakan cacing pita sari filum Platyhelminthes.
Cacing ini berbentuk panjang dan bersegmen.
Taenia sagiata mempunyai sucker ynag berfungsi untuk menghisap. Taenia sagiata biasa hidup di dalam
tubuh hewan ternak seperti sapi. Taenia
sagiata hidup sebagai parasite yang berbahaya sehingga tidak memiliki
manfaat bagi manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Tembo (2015) yang
menyatakan bahwa Taenia sagiata
merupakan cacing pita dalam filum Platyhelminthes yang hidup sebagai parasite
di tubuh hewan ternak sapi. Taenia
sagiata bertubuh besar (makroskopis) dan panjang. Pada tubuhnya terdapat
sucker untuk menghisap. Taenia sagiata sangat merugikan hewan maupun manusia.
Sistem ekskresi pada Taenia sagiata melalui saluran
ekskresi/saluran pengeluaran yang akan berakhir pada sel api.
Taenia sagiata tidak memiliki sistem pencernaan khusus, hanya
melalui permukaan luar tubuhnya. Sistem
respirasi belum terjadi secara kompleks. Sistem syaraf kurang berkembang namun
terdapat disisi tubuhnya dan terhubung dengan otak di kepala. Sistem sirkulasi
belum terlalu kompleks namun dengan pembuluh-pembuluh darah. Sistem reproduksi
belum kompleks namun hermaprodit. Hal ini sesuai dengan pendapat Jansen (2018)
yang menyatakan bahwa Taenia sagiata pada sistem ekskresinya memiliki saluran
ekskresi yang terdiri dari collecting canal dan sel api. Taenia sagiata tidak memiliki organ pencernaan khusus sehingga
sistemnya hanya menyerap nutrisi inang dari permukaan luar tubuhnya. Taenia sagiata memiliki sistem syaraf
pada bagian kedua sisi tubuhnya yang berhubungan dengan kepala. Taenia sagiata berkembangbiak dengan
hermaprodit sehingga reproduksinya terjadi pada satu tubuh dimana pada tiap
progtida mengandung organ jantan dan betina yang lengkap. Telur dikumpulkan
pada uterus.
4.2
Nematoda
Nematoda adalah
cacing-cacingan yang menyerupai benang. Ukuran dari nematoda mikroskopis hingga
makroskopis. Nematode merupakan hewan parasite dan merupakan pathogen pada
hewan maupun manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Justin (2007) yang
menyatakan bahwa Nematoda berasal dari bahasa Yunaniyang berarti
“benang” karena bentuknyayang
memanjang. Nematoda itu sendiri
dikenal dengan beberapa istilah
antara lain cacing
belut. Ukuran nematode beraneka
ragam dari ukuran
mikroskopik seperti nematoda pada
tanaman hingga ukuran yang
dapat dilihat dengan
mata telanjang seperti nematoda pada hewan dan manusia. Nematoda bersifat parasit danpatogen
baik pada tumbuhan,
hewan dan manusia.
4.2.1
Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides merupakan cacing yang termasuk dalam kelas
Nematoda. Ascaris lumbricoides berbentuk simestris dengan bagian anterior
tumpul dan bagian posterior lancip.
Cacing jantan dan betina dapat dibedakan melalui bagian posterior yaitu
melengkung ke ventral pada jantan dan lurus pada betina. Hal ini sesuai dengan
pendapat Betson (2013) yang menyatakan bahwa Ascaris lumbricoides merupakan cacing nematoda yang berbentuk
silindris memanjang berwarna putih. Cacing
dewasa berbentuk giling (silindris) memanjang, berwarnakrem/ merah muda
keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40 cm. Pada kedua jenis kelamin terdapat median
excretory pore yang terletak sedikit dibelakang ujung anterior bagian ventral
dan terdapat empat garis longitudinal pada dinding tubuh memanjang dari ujung
ke ujung dari tubuh cacing. Tubuh cacing Ascaris
lumbricoides dilapisi oleh kutikula tipis yang disekresi oleh epidermis yang
mendasarinya. Mulut terletak pada bagian ujung anterior yang dilindungi oleh
tiga buah bibir atau oral papillae. Saluran pencernaan berkembang dengan kurang
baik yang terdiri dari mulut, faring, usus, rektum, dan anus.
Siklus hidup cacing
bermula dari hewan ternak yang kemudian dikeluarkan melalui feses. Setelah di
luar inang, Larva cacing berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat Betson
(2014) yang menyatakan bahwa Setelah cacing jantan dan betina kopulasi, cacing
betina akan meletakkan telur sebanyak 200.000 telur setiap harinya yang
kemudian akan keluar dari tubuh manusia melalui anus bersama dengan feses.
Telur yang baru keluar dari tubuh manusia belum merupakan bentuk infektif
terhadap manusia. Setelah di tanah 16-20 hari, larva kecil berkembang dalam
telur. Telur berisi larva inilah yang merupakan bentuk infektif bagi manusia. Telur
yang telah dibuahi dapat mengalami embrionasi pada lingkungan yang sesuai yaitu
tanah yang lembab dan terlindung dari sinar matahari.
Cacing Ascaris
lumbricoides hidup di berbagai tempat di dunia. Cacing ini bukan termasuk
cacing yang memberi manfaat baik bagi manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat
Deslyper (2017) yang menyatakan bahwa cacing ini ditemukan kosmopolit (di
seluruh dunia), terutama di daerah tropis dan erat hubungannya dengan hygiene
dan sanitasi. Lebih sering di temukan pada anak-anak karena anak-anak kurang
bisa menjaga hygiene dan sanitasi dirinya sendiri, suka bermain ditempat yang
kotor. Indonesia frekuensinya lebih tinggi berkisar 20-90%.
4.2.2
Wuchereria bancrofti
Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas
dari anggota hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nematoda. Hal
ini sesuai dengan pendapat Small, dkk (2013) menyatakan bahwa cacing Wuchereria bancrofti adalah sejenis
cacing-cacingan dari filum Nematoda. Cacing ini merupakan penyebab penyakit
filariasis atau elephantiasis (kaki gajah). Di dalam tubuh manusia, cacing tersebut
menyumbat pembuluh limfa (getah bening), sehingga mengakibatkanpembengkakan
tubuh terutama pada kaki sehingga membesar. Oleh karena itu disebut kaki gajah.
Bentuk cacing ini gilig memanjang, seperti benang maka disebut filarial. Cacing
filaria penyebab penyakit kaki gajah berasal dari genus wuchereria dan brugia.
Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai penyebab penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan
Brugia timori.
Ukuran tubuh cacing Wuchereria
bancrofti mikroskopis yaitu berkisar 230-300 µm dengan lebar 7,5 µm
atau lebih. Cacing Wuchereria memiliki bentuk meruncing pada bagian posterior
dan membulat pada bagian anterior. Hal ini sesuai dengan pendapat Small (2016)
yang menyatakan bahwa Wuchereria bancrofti memiliki panjang tubuh
230-300 µm dan lebar 7,5-10 µm. Cacing ini mempunyai sheath (sarung) dengan
ujung anterior tumpul membulat dan posterior meruncing. Cacing ini berwarna
putih kekuningan dengan bentuk seperti benang dan mempunyai lapisan kutikula
yang halus. Ukuran cacing betina lebih panjang dibandingkan ukuran cacing
jantan. Mikrofilaria dari Wuchereria bancrofti
terbungkus dan berukuran 240-300 μm
dalam darah dan
275-320 µm dalam
2% formalin. Memiliki
tubuh yang lembut melengkung dan
ekor yang meruncing ke suatu titik. Kolom nukelus (sel-sel
yang membentuk tubuh mikrofilaria) dikemas dengan longgar. Mikrofilaria
bersirkulasi dalam darah. Wuchereria
bancrofti dewasa mempunyai bentuk yang panjang dan seperti benang. Ukuran jantan hingga 40 mm dan betina memiliki panjang 80-100
mm. Pada parasit
dewasa ditemukan terutama
di pembuluh limfatik, lebih
jarang di pembuluh darah. Sikuls hidup pada Wuchereria
bancrofti yaitu melalui nyamuk terinfeksi yang menghisap darah manusia kemudian
bekas luka menjadi sarang larva cacing. Larva berkembang menjadi cacing
filarial dewasa. Cacing dewasa menghasilkan mikrofilaria yang berkembang
menjadi larva tahap pertama. Kemudian terus berkemabnag sampai pada tahap
ketiga. Hal ini sesuai dengan pendapat Small (2015\4) yang menyatakan bahwa Daur hidup Wuchereria bancrofti adalah
ketika
menghisap darah, nyamuk yang terinfeksi menularkan larva (tahap ketiga) pada
kulit inang manusia melalui luka “gigitan.” Larva
berkembang menjadi cacing filaria dewasa pada kelenjar getah bening (limfa). Cacing dewasa menghasilkan
mikrofilaria yang memiliki lapisan pelindung dan bergerak aktif dalam peredaran
darah. Mikrofilaria dalam darah
tersebut ikut tertelan oleh nyamuk yang “menggigit” manusia yang terinfeksi. Mikrofilaria melepaskan
lapisan pelindung dan hidup pada perut nyamuk. Mikrofilaria kemudian berkembang menjadi
larva tahap pertama. Berkembang
lagi menjadi larva tahap ketiga. Larva
tahap ketiga pindah ke kepala dan “belalai” nyamuk untuk siap menginfeksi
manusia ketika nyamuk “menggigit” manusia.
4.2.3
Ancylostoma duodenale
Cacing Ancylostoma atau biasa disebut cacing
tambang adalah cacing yang termasuk ke dalam filum nematode. Cacing ini berasal
dari Eropa dan lebih sering dijumpai di daerah bersuhu hangat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Verweij (2007) yang menyatakan bahwa Cacing tambang diberi nama “cacing tambang”
karena pada zaman dahulu cacing ini ditemukan di Eropa pada pekerja
pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas sanitasi yang memadai. Ancylostoma duodenale lebih banyak di
Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan Eropa bagian selatan. Sekitar seperempat
penduduk dunia terinfeksi oleh cacing tambang. Infeksi paling sering ditemukan
di daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkatkebersihan yang buruk. Bentuk
infektif dari cacing tersebut adalah bentuk filariform. Setelah cacing tersebut
menetas dari telurnya, munculah larva rhabditiform yangkemudian akan berkembang
menjadi larva filariform.
Cacing tambang merupakan
cacing kosmopolit yaitu hidup di seluruh dunia terlebih pada tempat yang hangat
dan lembab dengan tingkat kebersihan yang kurang. Cacing tambang akan
berkembang baik pada ususus manusia dan juga usus duabelas jari. Hal ini sesuai
dengan pendapat Traub (2004) yang menyatakan bahwa habitat dari Ancylostoma duodenale adalah usus halus manusia tepatnya pada usus
dua belas jari. Ancylostoma duodenale
tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit), terutama di daerah tropis dan
subtropis, terutama yang bersuhu panas dan mempunyai kelembaban tinggi. Di
Eropa, Jepang dan Cina, infeksi cacing-cacing ini banyak dijumpai pada pekerja
tambang, sehingga cacing-cacing ini disebut juga dengan cacing tambang.
Cacing jantan dan betina
memiliki perbedaan ukuran dengan bentuk menyerupai huruf C. cacing ini memiliki
2 pasang gigi. Hal ini sesuai dengan pendapat Phosuk (2013) yang menyatakan
bahwa Cacing dewasa hidup di rongga usus halus manusia, dengan mulut yang melekat
pada mukosa dinding usus. Ancylostoma
duodenale ukurannya lebih besar dari Necator americanus. Yang betina
ukurannya 10-13 mm x 0,6 mm, yang jantan 8-11 x 0,5 mm, bentuknya menyerupai
huruf C. Rongga mulut Ancylostoma
duodenale mempunyai dua pasang gigi. Alat kelamin jantan adalah tunggal
yang disebut bursa copalatrix. Ancylostoma
duodenale betina dalam satu hari dapat bertelur 10.000 butir. Telur
dspesies ini ukurannya 40– 60 mikron, bentuk lonjong dengan dinding tipis dan
jernih. Ovum dari telur yang baru dikeluarkan tidak bersegmen. Di tanah dengan
suhu optimum23C - 33C, ovum akan berkembang menjadi 2, 4, dan 8 lobus. Telur
ini di tanah pada suhu 0C, dapat hidup dalam waktu 7 hari dapat hidup dalam
beberapa hari pada suhu 45C sedang pada suhu optimum 23C-33 C dalam waktu 24-48
jam telur akan menetas dan keluar larva rhabditiform yang makan dari bahan sisa
organik yang ada di sekitarnya. Cacing ini memilki mulut terbuka. Dalam waktu
3-5 hari, larva menjadi panjang dan kurus dengan mulut tertutup dan runcing.
Larva ini disebut dengan filariform yang efektif dan dapat hidup di tanah
dengan suhu optimum dalam waktu 2 minggu, dan larva iniakan mati bila kemarau,
kena panas langsung atau banjir.Larva filaform dapat menembus kulit manusia
kapiler darah Jantungkanan paru-paru Bronkus Trakea Laring usus halus, lalu
menjadi dewasa.Seekor cacing Ancylostoma duodenale mengisap darah
dalam satu hari 0,2-0,3 ml.
4.3
Annelida
Annelida
adalah salah satu fium dari bangsa cacing-cacingan. Annelida berarti cincin
karena memiliki struktur tubuh yang seperti cincin dan tubuh bersegmen. Hal ini
sesuai dengan pendapat Li (2015) yang menyatakan bahwa Annelida berarti
“cincin” kecil dan tubuh bersegmen yang mirip dengan serangkaian cincin yang
menyatu merupakan ciri khas cacing filum Annelida. Terdapat sekitar 15.000
spesies filum Annelida, yang panjangnya berkisar antara kurang darti 1 mm
sampai 3 m pada cacing tanah Australia. Anggota filum Annelida hidup di laut ,
dan sebagian habitat air tawar, dan tanah lembab, kita dapat menjelaskan
anatomi filum Annelida menggunakan anggota filum yang terkenal, yaitu cacing
tanah
4.3.1
Lumbricus terretris
Lumbricus terrestris merupakan cacing yang termasuk ke dalam filum
Annelida karena memiliki tubuh yang beruas-ruas dan dilapisi oleh peritonium.
Hal ini sesuai pendapat Membrasar et al (2018) bahwa cacing tanah (Lumbricus terresteris) termasuk ke dalam
filum Annelida karena temasuk kelompok hewan yang memiliki tubuh
seperti sejumlah besar cincin kecil yang diuntai dan memiliki ruas-ruas
(segment). Termasuk kelas Oligochaeta karena segemen pada tubuhnya
hanya memiliki sedikit setae. Termasuk dalam ordo Haplotaxida karena
gonopore jantannya paling sedikit satu ruas di belakang ruas yang megandung
testis. Termasuk dalan famili Lumbricidae karena umumnya terdapat
pada tempat lembap dan di daerah tropis. Termasuk dalam
genus Lumbricus karena termasuk dalam suku cacing-cacingan.
Morfologi dari cacing
tanah (Lumbricus terresteris) yaitu
memiliki bentuk tubuh panjang silindris, dengan kiraan 2/3
bagian posteriornya. Tubuh bersegmen-segmen dengan Jumlah segmen yang
dimiliki sekitar 90-195 yang dapat menyusut dan meregang untuk membantu
cacing bergerak di dalam tanah, permukaan atas berwarna merah sampai biru
kehijau-hijauan dan dari luar aorta dorsalis kelihatan jelas permukaan bawah
lebih pucat. Cacing ini memiliki rambut yang keras dan pendek pada setiap
segmennya. Cacing ini memiliki ciri yang khusus dari hewan invertebrate lainnya
yaitu tubuhnya bersegmen, bulat memanjang dan tubuhnya memiliki rongga. Panjang
tubuhnya 18 cm dan Lembar 0,6 cm. di dalamnya juga terdapat prostomiumm selum,
esophagus, gonad, saluran pencernaan pegodium. Hal ini sesuai pendapat Nilawati
et al (2014) bahwa cacing tanah (Lumbricus
terresteris) memiliki bentuk tubuh simetri bilateral, panjang
silindris, membulat didepan, menumpul dibagian ekornya. Cacing dewasa dapat
mencapai 150 mm panjang 3 sampai 5 mm lebar. Tubuh bersegmen-segmen, warna
tubuh cacing berwarna coklat gelap atau liat, permukaan atas berwarna merah
sampai biru kehijau-hijauan dan dari luar aorta dorsalis kelihatan jelas
permukaan bawah lebih pucat.
Bagian tubuh dari cacing
ini yaitu ada kutikula, endodermis, alat ekskresi, seudoral, prestomium,
gonaphore jantan dan betina, saluran sperma, dan clitellum Hal ini sesuai
pendapat Mulut terdapat di ujung anterior, mulut cacing tanah terletak di dalam
rongga oris. Hal ini sesuai pendapat Hani (2002) bahwa tubuh cacing tanah
terdiri dari segmen-segmen dan memiliki struktur organ-organ sederhana, yang
membuat cacing tanah dapat beradaptasi dengan baik pada lingkungannya. Cacing
tanah tidak memiliki alat gerak seperti kaki dan tangan. Namun, cacing memiliki
otot pada tubuhnya. Otot tubuh yang memanjang dan otot tubuh yang melingkar
serta tebal dapat membantu pergerakan. Struktur tubuhnya terdapat mulut, lubang
vas deferens, anus dan klitelum. Klitelum merupakan ruas-ruas reproduktif yang
berdinding tebal. Pada klitelum terdapat banyak sel kelenjar yang menghasilkan
lendir untuk perkawinan, juga bahan untuk membuat dinding kokon dan albumin
untuk melekatkan telur dalam kokon. Mulut (oral) terdapat di
ujung anterior, mulut (oral)
cacing tanah (Lumbricus terresteris)
terletak di dalam rongga oris, berfungsi sebagai organ pencernaan yang pertama
kali mencerna makanan, memiliki klitelum (Clitelum)
yang berfungsi sebagai kantung untuk meletakkan telur dan
mempunyai anus di bagian posterior yang berfungsi sebagai
alat pelepasan sisa makanan. Anatomi dari cacing tanah (Lumbricus terresteris) terdiri atas
otak ganglion (cerebral ganglia) yang
berfungsi menginervasi daerah mulut dan berpangkal pada ujung anterior
tiap kelompok sel-sel tersebut. Pangkal tenggorokan (pharynx) terdapat di dalam
segmen ke-4 dan ke-5, bersifat muscular dan berguna untuk
mengisap partikel-partikel makanan. Kerongkongan (esophagus) terletak di
ujung pharynx memanjang dari segmen ke 6 sampai segmen ke 14. Proventriculus merupakan
bagian ujung esophagus yang membesar, dan dibagian ini makanan di simpan,
dinding proventriculus sendiri tipis. Ventriculus terletak
di dalam segmen ke 17-18 bersifat muscular dan berguna untuk mencerna
makanan cacing tanah (Lumbricus
terresteris) bersifat hermaprodit. Sepasang ovarium menghasilkan ovum,
dan terletak di dalam segmen ke-13. Kedua oviduknya juga terletak di dalam
segmen ke-13 dan infudibulumnya bersilia. Oviduk tadi
melalui septum yang terletak diantara segmen ke-13 dan ke-14, dan di
dalam segmen ke-14 membesar membentuk kantong telur. Testis terletak di dalam
suatu rongga yang dibentuk oleh dinding-dinding vesivula seminalis.
Cacing tanah (Lumbricus terrestris) bersifat
hermafrodit. Sepasang ovarium menghasilkan ovum dan terletak pada segmen ke-13.
Testis terdapat pada rongga yang dibentuk oleh dinding-dinding vesicular
seminalis. Duktus spermaticus keluar dari sisi caudal testis dan keluar pada
segmen ke- 15. Walaupun cacing tanah bersifat hermafrodit,namun tidak dapat
melakukan perkawinan sendiri karena tidak adanya saluran yang menghubungkan
organ reproduksi jantan dan betina. Hal ini sesuai pendapat Roslim et al (2013)
bahwa reproduksi cacing tanah (Lumbricus
terresteris) termasuk hermaprodit, yaitu memiliki alat kelamin jantan dan
betina dalam satu tubuh. Namun demikian, untuk pembuahan tidak dapat
dilakukannya sendiri. Dari perkawinan sepasang cacing tanah, masing-masing akan
dihasilkan satu kokon yang berisi telur-telur. Kokon berbentuk lonjong dan
berukuran sekitar 1/3 besar kepala korek api. Kokon ini diletakkan di tempat
yang lembab. Dalam waktu 14-21 hari kokon akan menetas. Setiap kokon akan
menghasilkan 2-20 ekor. Testis terdapat pada rongga yang dibentuk oleh
dinding-dinding vesicular seminalis. Duktus spermaticus keluar
dari sisi caudal testis dan keluar pada segmen ke- 15. Walaupun cacing tanah (Lumbricus terresteris) bersifat
hermafrodit, namun tidak dapat melakukan perkawinan sendiri karena tidak adanya
saluran yang menghubungkan organ reproduksi jantan dan betina. Cacing tanah (Lumbricus terresteris) mulai dewasa
setelah berumur 2-3 bulan yang ditandai dengan adanya gelang (klitelum) pada
tubuh bagian depan. Selama 7-10 hari setelah perkawinan cacing dewasa akan
dihasilkan 1 kokon.
Siklus hidup cacing Lumbricus
terrestris yaitu dimulai
dari pembuahan lalu telur yang sudah dibuahi masuk kedalam selubung kokon. Jika
kokon berada di lingkungan yang cocok maka akan menetas kira-kira 14-21 hari.
Menurut pendapat Hanafiah (2005), bahwa Cacing tanah adalah hermafrodit dengan
alat kelamin jantan dan betina pada bagian ventral atau ventro lateral.
Cacing dewasa kelamin ditandai dengan adanya klitelium (seperti cincin atau
pelana berwarna muda mencolok melingkari tubuh sepanjang segmen tertentu) pada
umur 2,5 bulan. Untuk menghasilkan telur fertil, cacing harus mencari
pasangan dan saling menukar sperma yang akan membuahi sel telur.
Pembuahan akan terjadi dalam masing-masing lubang kelamin betina. Setelah
pembuahan, sepanjang permukaan klitelium akan mengeluarkan lendir yang akan
mengeras dan bergerak ke belakang terdorong oleh gerak maju cacing. Pada
saat melewati lubang kelamin betina, telur-telur yang sudh dibuahi akan masuk
ke dalam selubung kokon tersebut. Kokon yang diletakkan pada kondisi
lingkungan yang cocok akan menetas dalam 14-21 hari. Jumlah telur dalam
kokon beragam, biasanya lebih dari 10butir. Tergantung spesies, cacing
dewasa mampu menghasilkan lebih dari 2 kokon setiap 5-10 hari.
Perhitungan kasar menunjukkan setiap 100 cacing dewasa dalam kurun waktu satu
tahun dapat menghasilkan 100.000 cacing.
Lumbricus terresteris dapat
ditemukan didalam tanah yang lembab. Hal ini sesuai dengan pendapat Hanafiah
(2005), Bahwa Cacing tanah (Lumbricus
terresteris) hidup di dalam tanah yang lembab, subur dan
suhunya tidak rendah. Cacing-cacing ini keluar ke permukaan hanya pada saat
tertentu. Menurut Rachman (2012), bahwa Cacing tanah genus Lumbricus ini hidup
di dalam tanah di daerah tropis.
Cacing Lumbricus terrestris dapat dimanfaatkan sebagai pakan
umpan ikan, memperbaiki aerasi tanah, menyuburkan tanah. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hermanto (2012), bahwa Penggunaan cacing Lumbricus terrestris umumnya
sebagai umpan untuk pancing ,dan makanan hewan piaraan terutama itik. Jenis
cacing tanah yang digunakan umumnya Lumbriscus terestris yang berukuran cukup
besar. Penggunaan cacing Lumbricus terrestris sebagai pakan ikan
merupakan sumber protein untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan. Menurut
Subowo (2008), bahwa cacing tanah juga berperan memperbaiki aerasi tanah dengan
cara menerobos tanah sedemikian rupa sehingga pengudaraan tanah menjadi lebih
baik, disamping itu cacing tanah juga menyumbangkan unsur hara pada tanah
melalui eksresi yang dikeluarkannya, maupun dari tubuhnya yang telah mati.
Cacing Lumbricus terrestris bukan merupakan cacing parasite. Hal ini
sesuai dengan pendapat Subowo (2008),bahwa Lumbricus terrestris merupakan
cacing tanah yang bukan parasit.
4.3.2
Nereis sp.
Nereis sp. termasuk dalam Annelida karena Annelida memiliki ciri-ciri tubuhnya
simetri bilateral, memiliki tiga lapisan sel
(triploblastic), tubuhnya bulat dan memanjang biasanya dengan segmen yang jelas
baik eksternal internal, di sebagian spesies memiliki
setae berupa rambut dan setiap ruasnya memiliki banyak
setea. Rongga tubuh Annelida berisi cairan yang berperan dalam
pergerakkan annelida dan sekaligus melibatkan kontraksi otot; Ototnya terdiri
dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal).
Ciri umum dari Nereis sp. antara lain tubuhnya bersegmen, bulat dan memanjang,
memiliki kelamin ganda ( hermaprodit) . Hal ini sesuai pendapat Levine (2013)
yang menyatakan bahwa Nereis sp
memiliki ciri-ciri antara lain Tubuhnya itu bersegmen-segmen seperti gelang
sehingga disebut juga dengan juga cacing gelang, Mempunyai kelamin ganda atau
juga hermafrodit, bersimetri bilateral dan triploblastik selomata serta
metameri (artinya mempunyai bagian tubuh yang sama), bernafas dengan melalui
kulit (itu secara difusi), mempunyai sistem saraf tangga tali, pencernaan
makanan tersebut sudah sempurna (terdiri atas mulut, kerongkongan, usus serta
anus), peredaran darah tersebut tertutup, serta hidup di laut, tanah yang
lembap, atau juga air tawar, sistem saraf tersebut berupa ganglion otak dan
juga tali saraf yang tersusun dari tangga tali, sistem peredaran darah annelida
tersebut memiliki sifat tertutup dengan tersusun atas pembuluh darah yang
mempunyai hemoglobin.
Ciri
khusus dari Nereis sp. adalah
memiliki banyak setae, parapodia, dan tentakel. Hal ini sesuai pendapat Hickman
(2008) yang menyatakan bahwa Nereis
sp. dimasukkan ke dalam polychaeta karena memiliki banyak setae, parapodia dan
tentakel. Parapodia merupakan struktur seperti daging pada setiap segmen tubuh
yang dapt berfunsi sebagai alat gerak. Masing-masing parapodia memiliki beberapa
setae yang terbuat dari polisakarida kittin. Selain itu,parapodia juga
berfungsi sebagai alat pernapasan bantuan. Di bagian kepalanya terdapat
tentakel yang berfungsi untuk mengambil makanan. Hal ini berkaitan dengan
habitatnya yang berada dalam perairan ,tentakel ini untuk mengambil makanan
yang melayang-layang dalam perairan.
Reproduksi
Nereis sp. dapat terjadi secara
seksual dan aseksual. Daur hidup Dari Nereis
sp. Adalah semuanya menghasilkan gamet namun pada beberapa jenis hanya beberapa ruas
saja. Lalu gaeit yang telah matang akan berenang menjadi cacing pelagis,
dan gamet berhamburan di air laut maka cacing tersebut mati . Hal ini sesuai
pendapat Suwignyo (2005) yang menyatakan bahwa Reproduksi Nereis sp. dapat
terjadi baik secara aseksul maupun seksual. Reproduksi seksual terjadi
dengan cara pertunasan dan pembelahan, namun kebanyakan hanya melakukan
reproduksi secara seksual saja dan biasanya pada dioecious. Pada
dasarnya hampir semua menghasilkan gamet, namun pada beberapa jenis hanya beberapa
ruas saja. Pada beberapa jenis cacing dengan gamet yang telah matang akan
berenang menjadi cacing pelagis, setelah tubuhnya koyok-koyok dan gamet
berhamburan di air laut maka cacing tersebut mati, pembuahan terjadi di air
laut .
Habitat
dari Nereis sp. biasanya di laut, pantai pasir. Hal ini sesuai dengan pendapat
Suwignyo (2005) yang menyatakan bahwa Cacing laut (Nereis sp.)
banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan
lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir. Beberapa jenis hidup di
bawah batu, dalam lubang lumpur dan liang di dalam batu karang, dan ada juga
yang terdapat pada air tawar sampai 60 km dari laut, seperti di
Bogor.
4.3.3
Tubifex sp
Tubifex sp.
Termasuk dalam kelompok annelida karena bentuknya yang beruas-ruas, memiliki
warna merah coklat kekuningan yang terdiri 30-60 segmen. Hal ini sesuai dengan
pendapat Gusrina (2008) yang menyatakan bahwa Tubifex masuk ke dalam kelompok ke dalam annelida karena memiliki
ciri-ciri tubunya bersegmen-segmen, warnamya kemerah-merahan yang sekilas
nampak seperti koloni merah yang melambai-lambai. Dari setiap segmen bagian
punggung dan perut keluar setae dan ujung seta bercabang dua tanpa rambut.
Ciri
umum dari cacing sutra (Tubifex sp.)
adalah Cacing ini memiliki bentuk dan ukuran yang kecil serta ramping dengan
panjangnya 1-2 cm, beruas-ruas. Sedangkan ciri khususnya adalah sepintas tampak
seperti koloni merah yang melambai-lambai karena warna tubuhnya
kemerah-merahan, sehingga sering juga disebut dengan cacing rambut. Hal ini
sesuai dengan pendapat Pennak (2008) yang menytakan bahwa Tubifex sp. memiliki tubuh yang beruas-ruas, saluran pencernaannya
berujung pada anus yang terletak di bagian sup terminal. Di dalam budidaya
perairan secara umum Tubifex sp. sering kali disebut
cacing rambut atau cacing sutra karena bentuk dan ukurannya seperti rambut.
Panjang tubuh dari dari Tubifex ini antara 10–30 mm berwarna
merah coklat kekuningan terdiri dari 30–60 segmen. Dinding tebal yang terdiri
dari dua lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya.
Reproduksi Tubifex sp.
terjadi secara seksual antara dua individu seperti pada cacing tanah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Yurisman dan Sukendi (2004) yang menyatakan bahwa Tubifex sp.
adalah organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2 alat
kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang telah matang
telur. Hasil perkembangbiakannya berupa telur yang dihasilkan oleh cacing yang
telah mengalami kematangan sex kelamin betinanya. Telur ini selanjutnya dibuahi
oleh kelamin jantan yang telah matang,
Siklus
hidup dari cacing sutra (Tubifex sp.)
adalah diawali dengan telur yang kemudian berkembang menjadi cacing muda lalu
menjadi cacing dewasa. Hal ini sesuai dengan pendapat Kosiorek (2004) yang
menyatakan bahwa telur dibuahi dalam suatu kantong yang disebut kokon dan tiap
kokon terdapat 4 sampai 5 telur. Kokon berbentuk oval dengan panjang 1,0 mm dan
diameter 0,7 mm Perkembangan embrio mulai dari telur hingga menjadi
cacing muda membutuhkan sekitar 10-12 hari pada suhu 24 derajat Celcius. Siklus
hidup mulai dari penetasan hingga dewasa dan meletakkan kokonnya yang pertama
membutuhkan waktu 40-45 hari, sehingga siklus hidup dari telur menetas hingga menjadi
dewasa dan bertelur lagi membutuhkan waktu 50-57 hari.
Tubifex sp. dapat hidup di dasar
perairan tropis maupun sub tropis. Hal ini sesuai dengan pendapat Djariyah
(2006) yang menyatakan bahwa cacing ini merupakan salah satu jenis benthos yang
hidup di dasar perairan tawar daerah tropis dan subtropis, cacing sutera hidup
diperairan tawar yang jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai
adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya adalah
bagian-bagian organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan
tersebut.
Tubifex sp. dapat dimafaatkan sebagai
pakan ikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Khairuman (2008) yang menyatakan
bahwa cacing sutra (Tubifex. sp)
merupakan pakan alami yang rata-rata berukuran panjang 1 - 3 cm. Ukurannya yang
kecil membuat pembudidaya memilih cacing sutra sebagai pakan ikan hias dan
benih ikan konsumsi. Cacing sutra dibutuhkan untuk pertumbuhan ikan karena
mengandung nutrisi yang tinggi, yaitu protein 57%, karbohidrat 2,04%, lemak
13,30%, air 87,17% dan kadar abu 3,60%.
VI. V. KESIMPULAN
5.1
Platyhelminthes
merupakan jenis cacing yang memiliki tubuh yang pipih, simetris, dan tidak
bersegmen. Platyhelminthes hidup sebagai parasit, mempunyai alat hisap akan
tetapi juga ada yang hidup bebas dan mempunyai satu lubang mulut tanpa dubur.
Nematoda adalah cacing yang berbentuk bulat panjang (gilik) atau mirip dengan
benang. Nematoda dapat hidup bebas dengan memakan sampah organik, kotoran hewan,
tanaman yang membusuk, ganggang, jamur, dan hewan kecil lainnya dan juga
sebagai parasit di hewan, manusia, dan tumbuhan. Annelida, mmiliki tubuh
bersegmen (beruas-ruas yang mirip dengan cincin) dan memiliki otot.Mempunyai
sistem pencernaan sempurna dan tubuhnya dilapisi dengan kutikula tipis dan
lembab.
5.2
Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan, Filum Platyhelminthes beranggotakan Planaria sp., Fasciola hepatica, dan Taenia
saginata. Filum Annelida mempunyai beberapa jenis anggota yaitu, Nereis sp., Lumbricus terrestris, dan Tubifex sp. Sedangkan dari Filum Nematoda sendiri beranggotakan Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale, dan Wuchereria bancrofti.
DAFTAR PUSTAKA
Agustini, Desi
Maharani. 2006. Diversitas Cacing Tanah Pada Agroforestri berbasis Kopi di Desa Tawangsari Kecamatan Pujon Malang. Skripsi Universitas Brawijaya fakultas Pertanian Jurusan Tanah Malang.
Ahmad,
W. & Jairajpuri, M.S.: Mononchida –
the predatory soil nematodes. Nematology Monographs
and Perspectives, Vol. 7. Brill, Leiden 2010.
Amon, D. J., Glover, A. G., Wiklund, H., Marsh, L., Linse,
K., Rogers, A. D., et al. (2013). The discovery
of a natural whale fall in the Antarctic deep sea. Deep Sea Res. II 92,
87–96. doi: 10.1038/srep22139
Ashrafi
K, Bargues MD, O’Neill S, Mas-Coma S, 2014.
Fascioliasis: a worldwide parasitic disease
of importance in travel medicine. Trav Med Infect Dis 12: 636–649.
Betson
M, Nejsum P and Stothard JR (2013) From
the twig tips to the deeper branches: new Insights
into evolutionary history and phylogeography of Ascaris. pp. 265–285 In
Holland C (Ed.) Ascaris: the neglected
parasite. Amsterdam, Elsevier.
Betson
M, Nejsum P, Bendall RP, Deb RM and Stothard JR (2014) Molecular epidemiology
of ascariasis: a global perspective on
the transmission dynamics of Ascaris in people and pigs. The Journal of
Infectious Diseases 210, 932–941.
Curini-Galletti M, Campus P, Delogu V (2008) Theama
mediterranea sp. nov. (Platyhelminthes, Polycladida),
the first interstitial polyclad from the Mediterranean. Ital J Zool 75(1):77– 83.
Deslyper
G and Holland CV (2017) Overview on
ascariasis in humans in South Asia. pp. 83–120 In Singh SK (Ed.) Neglected tropical diseases-South Asia.
Cham, Springer.
Direktorat Jenderal pendidikan Dasar dan
Menengah Proyek Peningkatan.
Djafarudin. 2001. Dasar-dasar
Perlindungan Tanaman (Umum). Bumi Aksara: Jakarta.
Djarijah
A S. 2006. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius.
Gusrina.
2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan.
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar
dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.
Hanafiah,
K. A. dkk. 2005. Biologi Tanah, Jakarta: Raja GrafindoPress.
Hermanto
A, Pramonowibowo dan Asriyanto. 2012. Pengaruh Umpan Terhadap Hasil Tangkapan
Alat Tangkap Anco (LIF NET) di Perairan Rawa Bulung Kulon, Kabupaten Kudus.
Journal of Fisheries Resources Utilization Management and Technology 1(1),
128-137.
Hickman, D., 2008. Molecular
evidence that echiurans and pogonophorans are derived annelids. Proceedings of the National Academy of
Sciences, 94(15), pp.8006-8009.
Jansen F, Dorny P, Trevisan C, Dermauw V, Laranjo-González M,
Allepuz A, et al. Economic impact of bovine cysticercosis and
taeniosis caused by Taenia
saginata in Belgium.
P arasit Vectors. 2018;11:241.
Justine J-L. (2007) Fish parasites: Platyhelminthes (Monogenea,
Digenea, Cestoda) and Nematodes,
reported from off New Caledonia. In:
Payri CE, Richer de Forges B. (Eds) Compendium
of marine species of New Caledonia.Documents
Scientifiques et Techniques 117, (2nd edn), IRD Nouméa, 183–198.
Khairuman,
Amri K, dan Sihombing T. 2008. Peluang Usaha Budidaya Cacing Sutra.
Jakarta: PT Agromedia Pustaka.
Kosiorek,
D. 2004. Development Cycle Of Tubifex Tubifex Muller
In Experimental Culture. Pol. Arch.
Hidrobiol. 21 (3/4) : 411-422.
Levine N D. Protozoologi
Vertebrata. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995.
Li,dkk.2015. Mitogenomics Reveals Phylogeny and Repeat Motifs
in Control Region of the Deep-sea
Family Siboglinidae (Annelida).Mol.Phylogenet.Evol.85.
Mambrasar, R.
E., Keliopas Krey, Sita Ratnawati. 2018. Keanekaragaman, Kerapatan, Dan
Dominansi Cacing Tanah Di Bentang Alam Pegunungan Arfak. Jurnal Biologi 1 (1): 2018 22-30.
Nilawati, I,
Dahlemi, Nurdin, I. 2014. Jenis-jenis Cacing Tanah (Oligochaeta) yang Terdapat
di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas, 02 (03): 88-89.
Novobilsk
´y A, Amaya Solis N, Skarin M, H ¨oglund J, 2016. Assessment of flukicide
efficacy against Fasciola hepatica in
sheep in Sweden in the absence of a standardised test. Int J Parasitol Drugs Drug
Resist 6: 141–147.
Palupi E.S dan Sari, I.G.A.A.R.P.2014. Struktur Makroanatomi dan Mikroanatomi
Panaria di Perairan Lereng Gunung
Slamet,Baturaden, Banyumas. Proceding Seminar Nasional Biodiversitas V. Departemen
Biologi.FSAINTEK.UNAIR: Surabaya.
Palupi,E.S, Wibowo,E.S Dan Sari I.G.A.A.R.P.
2015. Studi Awal Kemampuan Regenerasi Planaria dari Perairan Lereng Gunung
Slamet Baturaden,Banyumas. Proceding.Semnas Pengembangan Sumber Daya Pedesaan dan Kearifan Lokal
Berkelanjutan V,LPPM UNSOED :
Semarang.
Pawlowski
J et al. 2012 CBOL Protist Working Group: barcoding eukaryotic richness beyond the animal, plant, and fungal kingdoms. PLoS Biol. 10, e1001419. (doi:10.1371/journal.pbio. 1001419).
Pennak,
R. W. 2008. Freswhere Invertebrates
Of The United States. A Wilwy Intescience Publication.
John Willey And Sons. New York.
Phosuk I, Intapan PM, Thanchomnang T, et al. Molecular
detection of Ancylostoma duodenale, Ancylostoma
ceylanicum, and Necator americanus in humans in
northeastern and southern Thailand. Korean J Parasitol. 2013;51:747–749
Radiopoetro.
1990. Zoologi. Jakarta: Erlangga.
Roslim, D., I,
Dini Septya Nastiti, Herman. 2013. Karakter Morfologi dan Pertumbuhan Tiga
Jenis Cacing Tanah Lokal Pekanbaru pada Dua Macam Media Pertumbuhan. Jurnal Biosantifika, 5(1) :5-7.
Setiawati, Hani.
2001. Efek Analgetik Ekstrak Cacing Lumbricus rubellus pada tikus (Rattus
rattus Strain Wistar). Tugas Akhir.
Malang: FKUB.
Small,
S. T., Ramesh, A., Bun, K., Reimer, L., Thomsen, E., Baea, M., Bockarie, M. J.,
Siba, P., Kazura, J. W., Tisch, D. J.,
and Zimmerman, P. A. (2013). Population
Genetics of the Filarial Worm
Wuchereria bancrofti in a Post-treatment Region of Papua New Guinea: Insights into Diversity and Life
History. PLoS Neglected Tropical Diseases, 7(7):e2308.
Small,
S. T., Reimer, L. J., Tisch, D. J., King, C. L., Christensen, B. M., Siba, P.
M., Kazura, J. W., Serre, D., and
Zimmerman, P. A. (2016). Population
genomics of the filarial nematode
parasite Wuchereria bancrofti from mosquitoes. Molecular Ecology, 25(7):1465–1477.
Small,
S. T., Tisch, D. J., and Zimmerman, P. A. (2014). Molecular epidemiology, phylogeny and
evolution of the filarial nematode Wuchereria bancrofti. Infection,
Genetics and Evolution,
28:33–43.
Soemadji. 1994/1995. Zoologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
Subowo, G.2008. Prospek Cacing Tanah
untuk Pengembangan Teknolog Resapan Biologi di Lahan Kering. Jurnal Litbang Pertanian, Vol. 27, No.
4, Yogyakarta.
Tembo A, Craig PS. Taenia saginata taeniosis:
copro-antigen time-course in a voluntary self- infection. J Helminthol. 2015;89:612–9.
Traub RJ, Robertson ID, Irwin P, Mencke N, Thompson RC. Application of a species-specific PCR-RFLP to identify Ancylostoma eggs directly from canine faeces. Vet Parasitol. 2004;123:245–55. 10.1016/j.vetpar.2004.05.026
Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi Dan Kultur Pakan Alami. UNRI
Press. Pekanbaru.