Minggu, 22 Juli 2018

Red Si Merah

Namaku Redia Prameswara. Panggil saja Red, orang tuaku memberi nama Red katannya agar pemberani. Seperti warna bendera Indonesia merah putih. Merah berani dan putih suci. 

Aku suka namaku meskipun banyak teman-temanku yang suka mengatakan namaku aneh, konyol, dan gak banget. Tapi, bagiku namaku sangatlah berharga dan menakjubkan. Karena namaku adalah harapan orang tuaku. Aku juga suka segala hal yang berwarna merah, hampir semua barang-barangku berwarna merah. Entah kenapa, tapi aku sangat menyukai merah. Meskipun kadang warna merah selalu disalah artikan dengan segala hal yang berbau negatif. Namun, berbeda jauh dengan prinsipku. Merah adalah sebagian hidupku, yang membuatku percaya diri dan pemberani akan apapun masalah yang ada. 

Namun itu dulu, dulu sekali. Karena nyatanya tidak, merah tak selamanya pemberani, merah tak selamannya membuatku teguh, merah yang dulu bukanlah sosok merah yang sekarang. Saat masalah besar menghantam hidupku. Aku masih ingat betul kejadian itu.

Aku masih kecil berumur 10 tahun. Aku masih duduk di kelas 6 sd. Aku pikir keluargaku akan harmonis selamannya. Memang ekspektasi tak seindah fakta. Ayahku, perlahan berubah. Sikapnya kasar dan pemarah. Pertengkaran hebat antara ayah dan ibuku selalu menghiasi hari-hariku. Hanya karena masalah sepelepun diributkan. Aku sendiri sampai bosan mendengar atau melihatnya. Pemandangan yang sama sekali tak ingin kulihat. Terus membayangi pikiranku. Dan suara yang menelusup ke telingaku, membuatku sedih. Aku ingin sekali menulikan telingaku agar tak mendengar pertengakaran mereka.

Perlahan ayahku juga mulai main tangan, sering mabuk-mabukan. Matannya selalu diselimuti kabut merah. Sampai, kejadian yang tak pernah sekalipun ada di benakku terjadi. Tepat, saat aku pulang sekolah, saat di rumah kulihat ayahku lagi-lagi mabuk, percekcokan antara ayah dan ibuku telah sampai klimaksnya. Aku yang masih kecil tak mampu menyela apalagi menasehati. Aku tahu benar, aku tak berhak. Siapa aku yang hanya anak kecil masih ingusan. 

"Aku ingin bercerai mas, aku sudah tak tahan dengan sikapmu" Kata ibuku

"Hahaha, kamu bilang apa! Coba ulangi lagi" Sengit ayahku tangannnya mulai mencengkeram dagu ibuku. 

Matanya sama, mata ayahku yang selalu aku lihat tiap mereka bertengkar. Tapi, kali ini beda, matannya diselimuti kabut kemerahan yang menggelap. Aku masih terdiam mematung, aku terkejut. Sampai tangan ayahku  yang memegang botol minumanya perlahan di ayunkan tepat ke kepala ibuku. Aku yang menatap kejadian itu, berlari menghampiri mereka dengan cepat, membuang tas ke segala tempat, sepatu sekolahku juga masih kupakai. Namun, naas waktu tak berpihak kepadaku. Botol berwarna hijau gelap telah mengenai kepala ibuku. 

Mataku membulat, aku menatap marah ayahku. Ayahku terlihat syok akan apa yang telah ia lakukan. Aku menghampiri ibuku  yang pingsan tergeletak di lantai dengan darah mengalir dari kepalannya. Aku memeluk ibuku begitu lekat, tak ingin melepasnya. Air mataku perlahan menetes. Aku menangis sesenggukan. Dadaku terasa sakit yang teramat lara. 

Ayahku perlahan sadar, ayah menghampiri aku dan ibuku dengan raut wajahnya yang terlihat kebingungan. Kuredam amarahku, mataku menatap seragamku telah penuh darah merah. Ayah segera menelepon ambulans. Saat ambulans datang; tak berapa lama. Aku, dan ayah membopong ibuku masuk ke ambulans. Sampainya di rumah sakit, dokter segera menjalankan tugasnya. Aku masih menangis, ayah terlihat gelisah. Entah apa yang dipirkannya aku tak tahu. 

Selang berapa lama. Aku melihat dokter keluar, namun wajahnya menyorotkan penyesalan. Aku tak ingin mendengar kalimat yang tak pernah terlintas dipikiranku. 

"Maaf, kami telah berusaha menyelamatkan Ibu Renjana. Tapi, tuhan berkehendak lain. Ibu Renajana tidak bisa bertahan" Tutur dokter.

Seketika jantungku berhenti berdetak. Mulai saat itulah, aku sangat membenci apapun yang berhubungan dengan merah. Semua tidak akan bermula jika tidak ada merah. 

"Stop, Ara gak mau denger cerita itu lagi" Kata Ara yang saat ini berbaring di tempat tidur. Gadis yang seumuran 13 tahun yang sangat manja dengan mamannya. Hingga sampai ia remaja masih suka dibacain cerita.

"Ceritannya belom selesai Ara, mama lanjutin ya" Bujuk mamanya ingin melanjutkan cerita tentang Red Si Merah. 

"Gak mau, Ara gak mau denger ma" Ucap Ara raut wajahnya penuh dengan gelagat sedih dan khawatir.

"Yaudah. Mama gak terusin baca cerita Red Si Merah. Tapi, Ara langsung tidur ya ini udah malem" Pinta mama Ara yang mulai mengecup dahi Ara. Kelopak mata Ara mulai menutup. Mama Ara lalu beranjak keluar menutup pintu kamar Ara. Membiarkan anak kesayangannya tertidur pulas.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar